Sistem hukum pidana kontinental, yang mendasari kerangka hukum pidana Indonesia (meskipun dengan modifikasi), menganut doktrin pertanggungjawaban pidana berdasarkan struktur yang dibagi ke dalam tiga tahap: Tatbestand (Perumusan Tindak Pidana), Rechtswidrigkeit (Melawan Hukum), dan Schuld (Kesalahan).
Tatbestand merupakan tingkat pertama dan fondasi utama, berfungsi sebagai saringan awal yang menentukan apakah suatu perbuatan layak disebut sebagai tindak pidana yang dirumuskan oleh undang-undang.
Mangel am Tatbestand, dalam ilmu hukum pidana Jerman yang secara harfiah berarti "kekurangan pada perumusan tindak pidana" atau "tidak terpenuhinya unsur-unsur delik". (Mangel = kekurangan; Tatbestand = keadaan yang betul/sempurna atau mencocoki rumusan delik) istilah ini dikemukakan oleh Graf zu Dohna (1910).
Secara doktriner, Mangel am Tatbestand merujuk pada situasi dimana perbuatan yang dilakukan oleh pelaku gagal memenuhi salah satu atau lebih dari unsur-unsur esensial (baik objektif maupun subjektif) yang dipersyaratkan dalam suatu rumusan tindak pidana.
Kegagalan ini memiliki implikasi hukum yang signifikan, yaitu runtuhnya pertanggungjawaban pidana pada tingkat pertama.
Konsep Tatbestand sebagai Fondasi Pertanggungjawaban
Tatbestand adalah deskripsi normatif-empiris dari suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang.
Unsur-unsur Tatbestand dibagi menjadi dua kategori utama yang harus dipenuhi secara kumulatif, yang pertama adalah unsur objektif (Objektiver Tatbestand) yang meliputi semua elemen yang dapat diamati secara kasat mata, termasuk perbuatan itu sendiri, objek tindak pidana, akibat yang ditimbulkan (untuk delik materil), dan hubungan kausalitas antara perbuatan dan akibat.
Selain itu ada unsur Subjektif (Subjektiver Tatbestand), yang meliputi keadaan/sikap batin pelaku, seperti Dolus (kesengajaan/niat) atau Culpa (kelalaian), yang dipersyaratkan oleh rumusan delik tertentu.
Jika salah satu dari unsur objektif atau subjektif ini tidak terpenuhi, maka terjadilah yang disebut dengan Mangel am Tatbestand dan perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang selesai (vollendetes Delikt).
Mangel am Tatbestand Objektif
Mangel am Tatbestand Objektif terjadi ketika elemen-elemen eksternal dari suatu delik tidak terwujud.
Beberapa bentuknya yang paling umum meliputi: ketidakhadiran akibat, yang terjadi pada delik materil (seperti pembunuhan atau penganiayaan berat), undang-undang mensyaratkan timbulnya suatu akibat tertentu (misalnya, kematian atau luka berat).
Jika perbuatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang tidak terjadi, maka unsur objektif dari delik yang telah selesai tidak terpenuhi.
Selanjutnya ada ketidakhadiran kausalitas, dimana di dalam doktrin kausalitas, khususnya teori Conditio Sine Qua Non (syarat mutlak) yang pada umumnya digunakan sebagai pedoman, harus ada hubungan sebab-akibat yang relevan antara perbuatan pelaku dan akibat yang timbul dari perbuatan tersebut.
Jika perbuatan pelaku, secara faktual atau normatif, tidak menjadi syarat mutlak bagi timbulnya akibat, maka unsur kausalitas, dan dengan demikian Tatbestand Objektif, dianggap kurang (Mangel).
Yang terakhir, adanya objek yang tidak memungkinkan (Untaugliches Objekt), hal ini terjadi ketika objek yang dituju oleh pelaku tidak memiliki kualitas yang dipersyaratkan oleh undang-undang.
Contohnya adalah menembak mayat dengan keyakinan bahwa orang tersebut masih hidup. Dalam kasus ini, unsur objektif "nyawa manusia" tidak terpenuhi, menyebabkan tidak adanya delik pembunuhan yang selesai.
Implikasi hukumnya, jika Mangel am Tatbestand terjadi pada ranah objektif, pertanggungjawaban pidana untuk delik yang telah selesai akan gagal.
Namun, jika pelaku memiliki niat untuk mencapai akibat, perbuatannya masih dapat dipertimbangkan sebagai Percobaan Tindak Pidana (Versuch) yang dapat dipidana, asalkan undang-undang mengatur ancaman pidana untuk percobaan atas delik tersebut.
Mangel am Tatbestand Subjektif: Tatbestandsirrtum
Mangel am Tatbestand Subjektif utamanya berpusat pada kegagalan pelaku untuk memiliki keadaan batin (kesengajaan atau kelalaian) yang dipersyaratkan oleh rumusan delik. Bentuk yang paling umum dari kegagalan ini adalah kesalahan mengenai fakta (Tatbestandsirrtum).
Tatbestandsirrtum merujuk pada kekeliruan atau ketidaktahuan pelaku mengenai salah satu unsur faktual dari Tatbestand Objektif. Seseorang yang melakukan Tatbestandsirrtum tidak menyadari bahwa perbuatannya memenuhi unsur-unsur faktual dari delik.
Contoh ilustrasinya adalah ketika A mengambil payung di tempat umum, A meyakini bahwa payung tersebut adalah miliknya sendiri (padahal payung itu milik B). A tidak menyadari bahwa objek yang diambil adalah "milik orang lain," yang merupakan unsur objektif dari delik pencurian.
Implikasi Hukum Tatbestandsirrtum, yang pertama yakni tidak terpenuhinya kesengajaan, yakni kesalahan mengenai fakta menyebabkan hilang/tidak terpenuhinya Dolus (kesengajaan).
Jika unsur kesengajaan tidak terpenuhi, maka delik sengaja yang dirumuskan akan gagal secara total (Mangel am Tatbestand Subjektif). Pelaku tidak dapat dihukum berdasarkan delik kesengajaan.
Yang kedua beralih ke kelalaian, dimana meskipun delik kesengajaan gagal, perbuatan tersebut mungkin masih dapat dihukum sebagai delik kelalaian (fahrlässiges Delikt), asalkan dua syarat terpenuhi, yakni undang-undang secara eksplisit mengatur dan mengancam pidana terhadap bentuk kelalaian dari delik tersebut (misalnya, pembunuhan yang tidak disengaja/kelalaian) dan pelaku memang dapat dan seharusnya menyadari fakta objektif tersebut (adanya Fahrlässigkeit atau kelalaian).
Jika delik yang dimaksud tidak memiliki bentuk kelalaian yang diancam pidana, atau jika pelaku tidak dapat dipersalahkan atas kelalaian, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana sama sekali. Inilah implikasi terpenting dari Mangel am Tatbestand Subjektif.
Penutup
Mangel am Tatbestand adalah konsep penting dalam hukum pidana yang berfungsi sebagai garis demarkasi awal dalam penentuan pertanggungjawaban pidana.
Kegagalan dalam memenuhi unsur objektif (misalnya, tidak adanya kausalitas atau objek tidak memungkinkan) akan menyebabkan gagalnya delik yang selesai, dan perbuatan tersebut hanya mungkin berlanjut ke tahap percobaan, jika niatnya ada.
Sementara itu, kegagalan dalam memenuhi unsur subjektif, terutama melalui Tatbestandsirrtum (kesalahan mengenai fakta), secara langsung menghilangkan unsur kesengajaan (Dolus). Konsekuensinya adalah kegagalan total delik sengaja.
Dalam kasus ini, pertanggungjawaban hanya dapat beralih ke delik kelalaian, asalkan delik kelalaian diancam pidana. Jika tidak, maka perbuatan tersebut harus dianggap tidak termasuk ke dalam perbuatan pidana.
Pemahaman yang komprehensif terhadap Mangel am Tatbestand sangat penting bagi Hakim dan praktisi hukum untuk memastikan prinsip fundamental nullum delictum sine lege ditegakkan, dimana tidak ada pemidanaan tanpa terpenuhinya setiap elemen yang telah dirumuskan secara eksplisit oleh undang-undang.
Daftar Referensi
Arief, Barda Nawawi. (2019). Hukum Pidana Lanjut. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Lamintang. (1997). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Moeljatno. (2008). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Muladi dan Dwidja Priyatno. (2010). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Roxin, Claus. (2006). Strafrecht, Allgemeiner Teil, Band I: Grundlagen, Der Aufbau der Verbrechenslehre. 4th ed. München: C.H. Beck.
Schünemann, Bernd. (2000). Einführung in das Strafrecht. 5th ed. Heidelberg: C.F. Müller.




