Peran hakim sebagai “storyteller” narasi bangsa mungkin dapat kita petik dari putusan Mahkamah Agung Swedia.

Dalam kenyataannya, setiap hukum, bahkan yang paling formal sekalipun, beroperasi dalam horizon moral yang tidak pernah sepenuhnya dapat dinafikan.

Dalam memutus perkara, hakim bisa memilih menginjakkan kakinya pada dua sistem pemikiran: Formalisme atau realisme. Namun, di antara kedua titik ini ada wilayah abu-abu yang sangat sulit untuk diabaikan.

Nilai dan norma yang berlaku dalam sebuah institusi sosial akan terus mengalami penyesuaian dan modifikasi.

Bagi pengkaji hukum dan etika Adrianne de Ruiter (2021), deepfake adalah sebentuk tindakan yang mencerabut kendali seseorang atas dirinya.

Inilah titik di mana filsafat hukum sebenarnya perlu membuka diri terhadap kebertubuhan dan pengalaman-pengalaman serupa yang tidak sepenuhnya dapat direkam oleh bahasa normatif-yuridis.

Dalam dunia yang ditandai oleh pergeseran kekuasaan yang terus berubah, hanya negara yang mampu mengoptimalkan disposisi uniknya yang benar-benar dapat disebut sebagai negara merdeka.

Kodifikasi hukum atas struktur adat sering kali simpang siur dengan hierarki formal dan ekspektasi birokratis.

Mengatasi ketimpangan dengan mencoba menegasi ketimpangan secara langsung adalah mitos. Perbedaan akan selalu muncul dalam setiap kompetisi.

Realitas sosial dan historis menunjukkan, agama dalam bentuk religiositas personal maupun ekspresi kolektifnya, terus menjadi elemen signifikan dalam pembentukan norma dan legitimasi.