Musyawarah Ibu Bangsa 2025: Mahkamah Agung Teguhkan Komitmen Keadilan Inklusif pada Momentum Hari Ibu

Musyawarah Ibu Bangsa 2025 mengambil tema “Pulang ke Semangat 1928: Suara Perempuan untuk Indonesia Emas yang Berkeadilan 2045”.
Perwakilan Mahkamah Agung dalam Musyawarah Ibu Bangsa 2025 | Foto: Dokumentasi Penulis
Perwakilan Mahkamah Agung dalam Musyawarah Ibu Bangsa 2025 | Foto: Dokumentasi Penulis

MARINews, Jakarta – Dalam rangka menyambut peringatan Kongres Perempuan Indonesia 1928,  Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (Kemen PPPA RI) serta Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) menyelenggarakan Musyawarah Ibu Bangsa 2025 di Gedung Nusantara V, Kompleks MPR/DPR RI, pada Senin (22/12).

Musyawarah Ibu Bangsa 2025 mengambil tema “Pulang ke Semangat 1928: Suara Perempuan untuk Indonesia Emas yang Berkeadilan – 2045”, dalam rangka memperkuat agenda kebijakan publik responsif gender dalam merumuskan isu strategis perempuan di berbagai bidang.

Hadir menyampaikan “Visi Ibu Bangsa” Ibu Gusti Kanjeng Ratu Hemas tentang “Keberagaman dalam Kesetaraan”,  Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, Stella Christie dengan tema “Pemerataan Akses Penguasaan Iptek untuk Perempuan”, Eva KS “Feminisme Pancasila adalah Feminisme Indonesia” dan Kanti W Janis “Kedaulatan Ekonomi Bagi Perempuan Muda”. 

Pada sesi sidang, Anggota DPR RI, Nurul Arifin, bertindak selaku Ketua Sidang.

Musyawarah Ibu Bangsa 2025 diresmikan oleh Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Lestari Moerdijat sekaligus menyampaikan Pidato dengan tema “Mewujudkan Indonesia Emas Berkeadilan 2045: Agenda Seting Ibu Bangsa”. 

Musyawarah juga dihadiri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Arifatul Choiri Fauzi, yang juga menyampaikan pidato dengan tajuk “Penghapusan Ketimpangan Gender di Indonesia: Penguatan PUG dalam Kebijakan Publik”.

Ketum BPHPI: Ruang untuk Saling Menguatkan Para Hakim Perempuan dalam Menjalani Peran Ganda

Ketum BPHPI dalam Musyawarah Ibu Bangsa 2025 | Foto: Dokumentasi Nadia Yurisa Adila

Hadir sebagai undangan dan menyampaikan pandangan pada sesi khusus Musyawarah Ibu Bangsa 2025 tersebut, yaitu Ketua Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia (BPHPI), Hakim Agung Kamar Perdata, Dr. Nani Indrawati, S.H., M.Hum. didampingi Para Pengurus BPHPI, Dr. Hj. Diah Sulastri Dewi, S.H., M.H., Dr. Rosana Kesuma Hidayah, S.H., M.Si. dan Rikatama Budiyantie, S.H., M.H.

Ketua BPHPI, menyampaikan dalam pandangannya, konsep negara hukum, sistem hukum, dan sistem peradilan lahir dari kebutuhan untuk melindungi yang lebih lemah dan lebih rentan dari yang lebih kuat dan lebih berkuasa. 

Konsep ini, lanjut Dr. Nani, memiliki kesamaan mendasar dengan naluri keibuan dimana naluri alamiah seorang Ibu adalah melindungi yang lemah, yang belum memiliki daya tawar, dan yang belum mampu membela dirinya sendiri. 

Naluri keibuan inilah yang kemudian melahirkan empati, kehati-hatian, dan rasa tanggung jawab. Cara pandang ini bukan ranah afeksi semata, melainkan fondasi etik yang memungkinkan keadilan diwujudkan secara substantif.

Dr. Nani juga menyampaikan, cara pandang perlindungan tidak dapat berhenti sebagai sikap moral personal, karena dalam kehidupan bernegara, perlindungan akan bermakna bila telah diterjemahkan ke dalam struktur, kewenangan, dan pengambilan keputusan. 

Ia menuturkan, negara yang kuat memang memerlukan hukum yang tegas, tetapi negara yang beradab memerlukan hukum yang mampu melindungi dan perlindungan hanya akan menjadi nyata bila cara pandang tersebut benar-benar bekerja di dalam sistem hukum dan sistem peradilan.

Berangkat dari kesadaran inilah BPHPI hadir dalam naungan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), yang berfungsi sebagai ruang untuk saling menguatkan para hakim perempuan dalam menjalani peran ganda, di satu sisi dalam ranah domestik berperan sebagai istri dan ibu, di sisi lain sekaligus berperan secara profesional menjalankan tanggung jawab dan karier sebagai seorang hakim. 

“BPHPI meyakini, dalam menjalani peran ganda tersebut, keadilan tidak cukup dijaga dengan aturan semata, melainkan juga harus diperjuangkan melalui penguatan, solidaritas, serta kehadiran perempuan dalam struktur dan kepemimpinan sistem peradilan.” tegas Dr. Nani.

Ketua BPHPI itu lebih jauh menegaskan, pada momen Musyawarah Ibu Bangsa 2025 ini, BPHPI ingin hadir seperti seorang Ibu dalam keluarga bangsa: bukan hanya yang peduli, tetapi yang memiliki kapasitas, legitimasi, dan pengaruh untuk memastikan bahwa perlindungan mendapatkan keadilan sungguh-sungguh terjadi, karena itu, kehadiran perempuan pada posisi kepemimpinan dalam sistem hukum dan sistem peradilan bukan agenda simbolik atau identitas, melainkan kebutuhan sistemik. 

Tanpa kehadiran tersebut, sambung Dr. Nani, nilai perlindungan akan selalu berada di pinggir dan tidak pernah menjadi penentu arah kebijakan.

Melalui forum Musyawarah Ibu Bangsa 2025 ini, Ketua BPHPI juga menyampaikan harapan, agar perempuan dihadirkan secara sadar, terencana, dan berkelanjutan dalam posisi kepemimpinan dan pengambilan keputusan di seluruh mata rantai sistem hukum: peradilan, kejaksaan, kepolisian, pemasyarakatan, pembentukan hukum, dan ruang-ruang strategis lainnya. 

Ruang tersebut bukan sekadar simbol keterwakilan, melainkan tempat arah kebijakan dan wajah keadilan negara ditentukan. Kehadiran perempuan di ruang-ruang itu bukan untuk keseimbangan gender semata, melainkan langkah penting untuk menjaga keadilan, keutuhan bangsa, dan keberlanjutan masa depan Indonesia.

Ketua Pokja Perempuan dan Anak: Roh Kongres Perempuan Indonesia Tahun 1928 di Meja Hijau: MA, Perempuan, dan Keadilan Inklusif untuk Indonesia Emas

Ketua Pokja Perempuan dan Anak dalam Musyawarah Ibu Bangsa 2025 | Foto: Dokumentasi Nadia Yurisa Adila

Pada musyawarah tersebut, hadir juga sebagai undangan, Mewakili Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan dan Anak Mahkamah Agung RI, Dr. Sudharmawatiningsih, S.H., M.Hum. yang juga merupakan Panitera Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung RI dengan didampingi oleh Hakim Yustisial Humas MA, Nadia Yurisa Adila, S.H., M.H.

Ia menyampaikan pandangan dengan tajuk “Roh Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 di Meja Hijau: Mahkamah Agung, Perempuan, dan Keadilan Inklusif untuk Indonesia Emas”. 

Ketua Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung RI, Dr. Sudharmawatiningsih menyampaikan, Musyawarah Ibu Bangsa 2025 merupakan momen untuk mengenang Kongres Perempuan Indonesia 1928 yang menjadi tonggak perjuangan kesetaraan dan keadilan gender.

Mahkamah Agung RI sebagai pengadilan negara tertinggi dalam menjaga tegaknya supremasi hukum, telah berkomitmen kuat melalui berbagai kebijakan progresif untuk memastikan terselenggaranya proses hukum yang adil, inklusif, dan berpihak pada perempuan serta kelompok rentan, Mahkamah Agung mengambil langkah-langkah konkret dalam ranah peradilan.

Pertama, Mahkamah Agung memiliki Pokja Perempuan dan Anak yang berperan aktif mewujudkan perspektif gender dan anak terintegrasi dalam proses peradilan dengan menjadi think tank dalam lahirnya berbagai kebijakan Mahkamah Agung.

Kedua, Mahkamah Agung telah menghasilkan peraturan yang memberikan perlindungan konkret bagi kelompok rentan, seperti PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, yang memastikan proses peradilan berperspektif gender, menghindari diskriminasi, dan menjamin akses keadilan.

PERMA Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, menjadi sebuah aturan yang menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai dasar pertimbangan dalam mengadili. 

Selain itu, PERMA Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi serta Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana, termasuk korban kekerasan seksual dan trafficking. 

Mahkamah Agung juga telah mengeluarkan PERMA Nomor 2 Tahun 2025 untuk memastikan sistem dan layanan peradilan inklusif dan aksesibel untuk penyandang disabilitas. 

Ketiga, di bawah naungan organisasi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) keberadaan hakim perempuan telah terhimpun dalam Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia (BPHPI). 

Dr. Sudharmawatiningsih menuturkan, hakim perempuan telah mengadili ribuan perkara dengan perspektif keadilan gender, sekaligus menjadi pionir reformasi hukum dan keadilan dan telah semakin membuka jalan bagi pendekatan progresif. 

“Suara perempuan telah terdengar di balik meja hijau bersama seluruh Hakim Indonesia menjadi penopang utama keadilan di negeri ini.” pungkasnya.