Menggunakan Pendekatan Hukum Larvul Ngabal (Living Law), Majelis Hakim Mendamaikan Terdakwa dan Saksi Korban

Saksi korban menyampaikan di persidangan telah ada perdamaian secara hukum adat kei (Larvul Ngabal) antara saksi korban dengan terdakwa yang difasilitasi oleh Kepala Ohoi (Desa) Langgur.
Terdakwa dan saksi korban berdamai di persidangan. Foto dokumentasi Humas PN Tual
Terdakwa dan saksi korban berdamai di persidangan. Foto dokumentasi Humas PN Tual

MARINews, Tual-Hukum yang hidup (living law) dalam konteks hukum mengacu pada hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat, baik hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 mengakui adanya hukum yang hidup dalam masyarakat dan hukum tersebut berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa. Sehingga terlihat bahwa living law dianggap sebagai hukum yang nyata dan efektif. 

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tual mulai memeriksa perkara atas nama terdakwa Eustachius Ken Abal Batmomolin Alias Ken pada Rabu (21/5) yang didakwa melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHPidana.

Penuntut umum pada sidang pertama langsung membacakan dakwaan dan atas dakwaan tersebut, Majelis Hakim menanyakan kepada terdakwa dan penasihat hukum terdakwa mengenai adanya keberatan atas dakwaan tersebut. Selanjutnya dijawab tidak mengajukan keberatan atas dakwaan dan terdakwa. Ketika ditanyakan kembali mengenai perbuatannya dalam dakwaan, terdakwa mengakui seluruh dakwaan yang dibacakan di depan persidangan.

Selanjutnya, mendasarkan pada ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Majelis Hakim yang diketuai oleh Jeffry Pratama, S.H., dengan Hakim Anggota Andy Narto Siltor, S.H., M.H., dan Gerson Hukubun, S.H., ketentuan dalam Perma tersebut telah terpenuhi dan selanjutnya Majelis Hakim menerapkan keadilan restoratif dalam mengadili perkara tersebut dengan mekanisme dan tatacara yang diatur dalam Perma tersebut.

Selanjutnya Majelis Hakim menanyakan kepada penuntut umum mengenai kehadiran saksi korban Andreas Charles Tetanel di persidangan dan ternyata saksi korban hadir. Selanjutnya, Majelis Hakim memeriksa saksi korban dengan terlebih dahulu menanyakan mengenai kronologis kejadian, kerugian yang timbul, ada atau tidaknya perdamaian antara terdakwa dan saksi korban, dan terakhir mengenai pelaksanaan kesepakatan atau perjanjian yang timbul dari perdamaian.

Saksi korban menyampaikan di persidangan telah ada perdamaian secara hukum adat kei (larvul ngabal) antara saksi korban dengan terdakwa yang difasilitasi oleh Kepala Ohoi (Desa) Langgur atau disebut juga Orangkay Ohoingur Rascap Ohoilim Tahit Utan Ngur Ohoi Ru Saudara Hyronimus J. S. Dumatubun, dengan disaksikan oleh saksi-saksi yang hadir dalam proses adat tersebut. Majelis Hakim juga menanyakan kebenaran perdamaian tersebut kepada terdakwa dan terdakwa membenarkan pernyataan saksi korban. 

Terdakwa memperlihatkan kepada Majelis Hakim dan Majelis Hakim memeriksa Surat Berita Acara Penyelesaian Masalah tertanggal 9 Mei 2025 yang menyatakan, telah terjadi penyelesaian persoalan antara terdakwa dan saksi korban secara adat Kei dengan melakukan sidang adat Wil fo ob, Felo rek, Kef Bangil, dan Majelis Hakim menanyakan kebenaran surat tersebut. Saksi korban membenarkan seluruh isi surat tersebut dan telah dilaksanakan seluruh isi perdamaian dengan terdakwa memberikan denda adat berupa kain adat dan gelang emas adat kepada saksi korban. Selanjutnya saksi korban juga menyatakan di depan persidangan bahwa antara saksi korban tidak ada lagi dendam dan para pihak bersepakat tidak akan mengulangi perbuatan yang sama dan perbuatan buruk lainnya di kemudian hari.

Setelah memeriksa saksi korban, Majelis Hakim meminta saksi korban dan terdakwa untuk berjabat tangan dan berpelukan, sehingga di persidangan terwujud keadilan restoratif dengan adanya pemulihan antara saksi korban dan terdakwa. Terdakwa di persidangan juga menyampaikan rasa penyesalan terhadap tindakannya kepada terdakwa dan saksi korban memaafkan seluruh perbuatan terdakwa tersebut.

Persidangan tersebut juga dihadiri oleh keluarga dari terdakwa dan seluruh pengunjung persidangan juga ikut merasakan kebahagian dari adanya perdamaian yang timbul dari hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat kepulauan kei, Maluku.

Majelis Hakim berharap hukum yang hidup (living law) menjadi hukum yang dapat selalu dikedepankan, agar lebih banyak pemulihan yang terjadi dan adanya kedamaian di tengah-tengah masyarakat. 

Penulis: Andy Narto Siltor
Editor: Tim MariNews