Seperti Kisah Malin Kundang, PN Kayuagung Hukum Anak Aniaya Ibu

Perkara ini seolah menghadirkan kembali kisah seperti Malin Kundang, ketika seorang anak justru menyakiti ibu yang telah melahirkannya.
Persidangan di PN Kayuagung. Foto : Dokumentasi PN Kayuagung
Persidangan di PN Kayuagung. Foto : Dokumentasi PN Kayuagung

MARINews, Kayuagung - Pengadilan Negeri (PN) Kayuagung menjatuhkan pidana penjara selama 8 bulan kepada Riko Wijaya dalam perkara kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga. 

Perkara ini seolah menghadirkan kembali kisah seperti Malin Kundang, ketika seorang anak justru menyakiti ibu yang telah melahirkannya. 

Korban dalam perkara tersebut adalah Hamnah, ibu kandung terdakwa sendiri. Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang sebelumnya menuntut pidana penjara selama 9 bulan.

Putusan tersebut, dibacakan oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Iqbal Lazuardi dengan Eka Aditya Darmawan dan Kurnia Ramadhan masing-masing sebagai Hakim Anggota. 

Dalam amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan “terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga serta menjatuhkan pidana penjara selama 8 bulan,” ujar Ketua Majelis Hakim saat membacakan amar putusan di ruang sidang PN Kayuagung.

Perkara memilukan itu terjadi Selasa (19/8/2025), sekitar pukul 09.30 WIB. Pagi itu, terdakwa bangun tidur dan meminta ibunya untuk memasakkan mie. Permintaan tersebut dipenuhi oleh korban. 

Tidak lama kemudian, terdakwa kembali meminta agar dibelikan rokok dan minuman kemasan, yang juga dituruti oleh korban. 

Namun, ketika korban melihat mie yang telah dimasak tidak dimakan, ia menegur terdakwa dengan mengingatkan bahwa makanan tersebut dibeli dari hasil jerih payah.

Teguran seorang ibu itu justru memicu amarah terdakwa. Setelah korban masuk ke dalam kamar, terdakwa keluar dari dapur sambil mengambil sebuah kursi plastik berwarna hitam. 

Dengan nada ancaman, terdakwa kemudian memukuli kepala korban berulang kali menggunakan kursi plastik tersebut hingga kursi itu patah.

Dalam kondisi terluka, korban berusaha menyelamatkan diri dengan membuka pintu teralis sambil berteriak meminta pertolongan. 

Korban kemudian keluar rumah dalam keadaan setengah tidak sadarkan diri, sambil memegangi kepala yang mengeluarkan darah. Teriakan tersebut didengar oleh saksi Eryani, adik ipar korban, yang segera datang memberikan pertolongan dan membawa korban ke Puskesmas Tanjung Raja untuk mendapatkan perawatan medis.

Akibat perbuatan terdakwa, korban mengalami luka robek di kepala hingga harus mendapatkan 13 jahitan serta luka-luka lecet di beberapa bagian tubuhnya. 

Fakta-fakta tersebut terungkap dalam persidangan berdasarkan keterangan saksi dan alat bukti yang sah.

Dalam persidangan juga terungkap bahwa antara terdakwa dan korban telah terjadi perdamaian yang dituangkan dalam kesepakatan tertulis. 

Meski demikian, Majelis Hakim menegaskan bahwa perdamaian tersebut tidak menghapus pertanggungjawaban pidana atas perbuatan kekerasan yang dilakukan terdakwa.

Persidangan juga mengungkap sikap besar hati korban yang tetap memaafkan perbuatan terdakwa. 

Di hadapan Majelis Hakim, korban menyampaikan bahwa meskipun dirinya disakiti oleh anak kandungnya sendiri, ia tetap memaafkan dan menyayangi terdakwa. 

“Sekalipun anak kandung saya menyakiti saya, saya tetap menyayangi anak saya,” ujar korban di hadapan Majelis Hakim dalam persidangan.

Dalam pertimbangan putusannya, Majelis Hakim secara khusus menyampaikan pesan moral dan keagamaan yang dianut oleh terdakwa. 

Majelis mengingatkan ajaran Islam sangat menjunjung tinggi kemuliaan seorang ibu, yang wajib dihormati, disayangi, dan dilindungi oleh anaknya. Menyakiti orang tua, terlebih melakukan kekerasan fisik terhadap ibu kandung, merupakan perbuatan yang dilarang keras dan termasuk dosa besar.

Namun demikian, Majelis Hakim juga menegaskan bahwa pintu taubat selalu terbuka bagi setiap hamba yang dengan sungguh-sungguh menyesali perbuatannya.

Majelis Hakim berharap putusan ini, menjadi peringatan yang menyentuh hati nurani terdakwa agar benar-benar menyesali perbuatannya, memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Esa, meminta maaf kepada ibunya, serta ke depan mampu kembali menjalani perannya sebagai anak yang berbakti, lemah lembut, dan penuh kasih sayang kepada orang tua.

Usai pembacaan putusan, terdakwa menerima putusan sedangkan jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir untuk menentukan sikap dan langkah hukum selanjutnya atas putusan tersebut.

Penulis: Kontributor
Editor: Tim MariNews