Urgensi Pembaruan KUHAP: Mengapa Kita Membutuhkannya?

KUHAP perlu diperbarui agar lebih sesuai dengan kebutuhan keadilan, baik bagi Tersangka maupun korban termasuk kejelasan pelaksanaan proses beracara bagi penegak hukum.
Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H.
Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H.
Pengantar

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan dasar hukum dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Namun, seiring perkembangan zaman, KUHAP perlu diperbarui agar lebih sesuai dengan kebutuhan keadilan, baik bagi Tersangka maupun korban termasuk kejelasan pelaksanaan proses beracara bagi penegak hukum. 

Saat ini, banyak ketentuan yang belum mengakomodasi hak-hak korban secara seimbang, sehingga pembaruan KUHAP menjadi sebuah keharusan. Ada tiga alasan utama mengapa KUHAP harus diperbarui, yaitu: Pemenuhan Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Penyelarasan terhadap Kebijakan Mahkamah Agung dan Penyesuaian dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.

Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sejumlah asas. Di antaranya, asas ketertiban dan kepastian hukum yang menentukan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.  

KUHAP yang berlaku saat ini, belum memberikan fleksibilitas bagi hakim untuk memutuskan perkara dengan mempertimbangkan prinsip keadilan secara lebih luas. Dalam ketentuan Pasal 193 (1) KUHAP diatur bahwa, jika pengadilan berpendapat Terdakwa bersalah melakukan Tindak Pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.  

Namun, ketentuan Pasal 54 ayat (2) KUHP (UU Nomor 1/2023), justru memberikan pengaturan yang berbeda, yakni ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana, serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana, atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. 

Ketentuan pada ayat ini, dikenal dengan asas rechterlijke pardon atau judicial pardon yang memberi kewenangan kepada hakim, untuk memberi maaf pada seseorang yang bersalah melakukan Tindak Pidana yang sifatnya ringan. Pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan Terdakwa terbukti melakukan Tindak Pidana yang didalilkan kepadanya. Sehingga, penerapan Pasal 54 ayat (2) KUHP tidak memberikan kepastian hukum bagi hakim, apabila rumusan Pasal 193 ayat (1) KUHAP tidak dilakukan perubahan.

Berikutnya, asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan yang menentukan bahwa materi muatan Peraturan Perundang-undangan (PUU), harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara. 

Saat ini, KUHAP lebih banyak mengatur hak Tersangka atau Terdakwa, meliputi bahasa yang dimengerti, keterangan secara bebas, bantuan hukum, layanan kesehatan, status penahanan, kunjungan keluarga, kunjungan rohaniawan, persidangan terbuka untuk umum, mengajukan saksi/ahli, upaya hukum dan ganti kerugian.

Sedangkan hak korban dalam KUHAP hanya terbatas pada empal hal, sehingga tidak terdapat keseimbangan antara Tersangka/Terdakwa dengan korban.

KUHP baru dan berbagai undang-undang lainnya telah mengakui hak-hak korban yang belum diatur dalam KUHAP, seperti perlindungan dari kekerasan saat memberikan keterangan, jaminan tidak kehilangan pekerjaan, dan perlindungan terhadap identitas korban. Hak-hak ini, juga diperkuat dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang menjamin akses korban terhadap informasi, perlindungan dari ancaman, serta hak untuk tidak mengalami diskriminasi di tempat kerja atau pendidikan akibat melaporkan kejahatan.

Selain itu, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang juga memberikan hak-hak tambahan bagi korban, seperti pendampingan advokat, pemberian keterangan tanpa Terdakwa, serta kerahasiaan identitas. Perma 3 Tahun 2017 turut menegaskan perlindungan bagi perempuan berhadapan dengan hukum, termasuk pencegahan intimidasi di persidangan dan hak untuk mendapatkan ganti rugi.

Meski berbagai aturan telah memberikan perlindungan lebih luas, KUHAP perlu diperbarui agar selaras dengan perkembangan hukum dan memastikan hak-hak korban benar-benar terlindungi dalam sistem peradilan pidana.

Kebijakan Mahkamah Agung (MA)

MA telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang menyempurnakan praktik hukum acara pidana. Contohnya, Perma 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik. Dalam ketentuan Pasal 230 (1) KUHAP ditentukan bahwa, sidang pengadilan dilangsungkan di gedung pengadilan dalam ruang sidang. Sedangkan Perma 4 Tahun 2020, memperluas makna ruang sidang menjadi ruang sidang elektronik yakni ruang sidang di pengadilan yang meliputi kantor kejaksaan, kantor rutan/lapas, atau tempat lain yang ditetapkan hakim/Majelis Hakim.

Pada kebijakan lainnya, MA mengeluarkan SEMA 3/2015, dalam rumusan kamar pidana menentukan bahwa Terdakwa terbukti sebagai pemakai dan jumlahnya relatif kecil (SEMA Nomor 4 Tahun 2010), maka hakim memutus sesuai surat dakwaan tetapi dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan membuat pertimbangan yang cukup.

Juga dapat ditemukan dalam SEMA 2/2019 rumusan kamar pidana: penjatuhan sanksi adat terhadap Terdakwa yang melakukan perbuatan cabul, dapat dijadikan pertimbangan untuk menyimpangi pidana penjara minimum yang diatur dalam Pasal 76 E juncto Pasal 82 ayat (1) UU 35/2014 tentang Perubahan atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Rumusan SEMA 3/2015 dan SEMA 2/2019 selaras dengan rumusan ketentuan Pasal 53 ayat (2) KUHP yakni, jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka hakim wajib mengutamakan keadilan. Namun, KUHAP tidak memiliki aturan pelaksana terhadap makna mengutamakan keadilan, apabila dikaitkan dengan putusan bebas, lepas, pemidanaan atau pemidanaan dengan kualifikasi khusus.

MA juga mengeluarkan SK KMA 2-144 tahun 2022 yang memberikan pengaturan soal pengaburan identitas hakim, panitera sidang, jaksa penuntut umum, penyidik, saksi, dan ahli dalam perkara Tindak Pidana Terorisme baik dalam keseluruhan isi putusan, sistem informasi pengadilan, dan sistem informasi lainnya yang digunakan pengadilan. Hal tersebut merupakan tindak lanjut UU 5/2018 mengenai Tindak Pidana Terorisme. 

Ketentuan SK KMA 2-144 sejalan pula dengan SK KMA Nomor: 315/KMA/SK/X/2022 tentang Standar Operasional Prosedur Permintaan Pelindungan Hakim dan Aparatur Peradilan Beserta Keluarganya Dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme. Namun, hal ini tentu menimbulkan pertentangan dengan pelaksanaan hukum acara pidana yang berlaku saat ini.

Pada  frasa awal ketentuan Pasal 180 ayat (2) KUHAP diatur bahwa “Hakim Ketua sidang menanyakan keterangan kepada saksi tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan”.

Pertanyaan baru muncul, bagaimana menjamin kerahasiaan idenitas saksi apabila di ruang sidang yang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh pengunjung sidang, saksi wajib menjawab semua pertanyaan Hakim Ketua sidang seputar identitas dirinya.

Secara historis, KUHAP memang tidak memiliki pengaturan seputar hal tersebut, demikian pula pada UU 5/2018  juga tidak dijelaskan bagaimana cara menjamin kerahasiaan identitas dalam proses beracara di pengadilan sehingga revisi KUHAP menjadi solusi untuk menjembatani kebutuhan praktik soal jaminan pelindungan identitas.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)

Bukti permulaan merupakan konsep penting dalam hukum acara pidana, terutama dalam menentukan apakah suatu penyelidikan dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan. MK telah memberikan penafsiran yang lebih jelas terhadap makna bukti permulaan yang cukup.

Dalam Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, misalnya, MK menegaskan bahwa bukti permulaan harus didasarkan pada alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Dengan demikian, bukti permulaan tidak boleh didasarkan pada dugaan semata, melainkan harus memiliki dasar yang objektif dan terukur agar tidak terjadi kriminalisasi yang sewenang-wenang.

Putusan MK juga menegaskan bahwa konsep bukti permulaan cukup harus memberikan perlindungan hukum bagi warga negara dari tindakan penegakan hukum yang sewenang-wenang. Dalam beberapa putusan lainnya, MK menekankan bahwa bukti permulaan yang cukup harus dapat diuji secara objektif dan rasional untuk memastikan adanya keseimbangan antara kewenangan penyidik dan hak asasi Tersangka.

Dengan demikian, putusan MK berperan dalam memperjelas batasan hukum agar penggunaan bukti permulaan tetap sejalan dengan prinsip due process of law, sehingga hak-hak individu tetap terlindungi dalam sistem peradilan pidana.

Kesimpulan

Pembaruan KUHAP bukan sekadar kebutuhan, tetapi suatu keharusan untuk menjamin keseimbangan keadilan dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Ketentuan yang ada saat ini masih belum sepenuhnya mencerminkan asas kepastian hukum, keseimbangan antara hak Tersangka dan korban, serta belum selaras dengan berbagai kebijakan Mahkamah Agung dan putusan Mahkamah Konstitusi. Ketidaksempurnaan ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan, baik dalam aspek perlindungan korban maupun fleksibilitas hakim dalam menegakkan keadilan substantif.

Oleh karena itu, revisi KUHAP harus dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan hukum, kebutuhan masyarakat, dan harmonisasi dengan aturan-aturan terbaru yang telah diterapkan dalam praktik peradilan. Penyesuaian ini akan memastikan bahwa hukum acara pidana tidak hanya menjadi alat kepastian hukum, tetapi juga sarana keadilan yang lebih manusiawi, modern, dan responsif terhadap tantangan zaman.