Menuju Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka 100%

Untuk mencapai kekuasaan kehakiman yang merdeka 100%, kemandirian anggaran bagi Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya menjadi solusi utama.
Ilustrasi hakim. Foto Fixabay.com
Ilustrasi hakim. Foto Fixabay.com

Tan Malaka adalah tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lahir dengan nama Ibrahim Datuk Tan Malaka di Suliki, Sumatera Barat.

Dia adalah pemikir, aktivis, dan revolusioner dengan pandangan progresif. Salah satu karyanya, Menuju Merdeka 100%, menegaskan, kemerdekaan sejati bukan sekadar lepas dari kolonialisme, tetapi juga mencakup keadilan sosial, politik, dan ekonomi. Ia menekankan, kemerdekaan sejati berarti kebebasan dari segala bentuk penindasan, termasuk dalam sistem hukum dan peradilan.

Relevansi pemikirannya dapat diterapkan dalam konteks kekuasaan kehakiman yang merdeka 100%. Sistem peradilan harus bebas dari intervensi politik dan ekonomi agar dapat menegakkan hukum secara adil. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan." 

Namun, dalam praktiknya, independensi peradilan masih menghadapi tantangan, terutama ketergantungan anggaran terhadap eksekutif. Untuk mencapai kekuasaan kehakiman yang merdeka 100%, kemandirian anggaran bagi Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya menjadi solusi utama. Namun, mewujudkan hal ini tidaklah mudah. Mengingat, Mahkamah Agung masih bergantung pada alokasi anggaran yang disediakan pemerintah. 

Ketergantungan lembaga peradilan terhadap anggaran yang diberikan oleh eksekutif berisiko mengganggu independensi dan efektivitas peradilan. Terutama jika anggaran mengalami pemotongan atau efisiensi yang tidak memperhitungkan kebutuhan riil lembaga peradilan.

Seperti yang terjadi dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung (MA) bersama Komisi III DPR RI pada 12 Februari 2025, pagu anggaran MA 2025 yang disepakati sebesar Rp12,6 triliun, atau mengalami efisiensi sebesar Rp2,2 triliun. Hal itu, berdampak pada berbagai aspek penting, seperti bantuan transportasi hakim yang hanya mencukupi untuk enam bulan, keterbatasan pelaksanaan sidang keliling, biaya mutasi hakim tidak dibayarkan keseluruhan, serta pengurangan anggaran untuk pembebasan biaya perkara (prodeo). 

Efisiensi ini juga memengaruhi peningkatan kapasitas hakim dan aparatur peradilan, terbatasnya dana untuk pendidikan dan pelatihan calon hakim, sertifikasi Hakim Niaga dan mediator, serta penyusunan dan implementasi sistem informasi peradilan. Selain itu, perjalanan dinas ke luar negeri juga tidak terlaksana, menghambat kerja sama internasional dan studi banding yang berpotensi meningkatkan kualitas peradilan.

Dampak efisiensi anggaran semakin nyata ketika dikaitkan dengan tingginya beban perkara pada 2024. Sebagaimana disampaikan dalam Sidang Pleno Istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada 19 Februari 2025. Disampaikan bahwa beban perkara mencapai 2.991.747. Terdiri dari 2.927.815 perkara baru dan sisa perkara tahun sebelumnya sebanyak 63.932. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.856.821 perkara telah diputus, sementara 61.804 perkara dicabut, menyisakan 73.122 perkara yang belum terselesaikan. 

Meskipun rasio produktivitas memutus perkara di pengadilan tingkat pertama mencapai 97,56%, pencapaian ini diperoleh dengan beban kerja yang luar biasa tinggi. Pasalnya, jumlah hakim tingkat pertama hanya 5.804 orang, ditambah 350 Hakim Ad Hoc untuk perkara tindak pidana korupsi dan perselisihan hubungan industrial. Sehingga, rata-rata setiap hakim menangani 1.547 perkara dalam setahun. Hal itu menunjukkan betapa besar beban kerja yang dihadapi akibat minimnya jumlah hakim. 

Kondisi ini semakin diperburuk oleh efisiensi anggaran yang dapat menghambat perekrutan hakim baru serta penyediaan sarana dan prasarana peradilan yang memadai. Jika alokasi anggaran tidak segera ditingkatkan, maka independensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam memberikan layanan keadilan akan semakin terancam.

Ketergantungan anggaran pada eksekutif juga berisiko melemahkan independensi peradilan. Kekurangan hakim memaksa Mahkamah Agung mengeluarkan izin dispensasi bagi hakim tunggal guna mengatasi penumpukan perkara.

Jika anggaran terus mengalami efisiensi tanpa mempertimbangkan kebutuhan riil peradilan, kualitas putusan dan akses masyarakat terhadap keadilan dikhawatirkan akan semakin tergerus.

Oleh karena itu, kemandirian anggaran menjadi kebutuhan mendesak agar lembaga peradilan dapat menjalankan tugasnya secara profesional, independen, dan bebas dari intervensi politik maupun kepentingan lainnya.

Kemandirian anggaran peradilan merupakan kebutuhan mendesak di tengah meningkatnya kompleksitas persoalan hukum di Indonesia. Sayangnya, perhatian publik dan pemangku kepentingan masih minim terhadap isu ini. Tanpa dukungan politik, peradilan akan terus bergantung pada eksekutif, menghambat upaya menegakkan hukum yang adil dan independen.

Demi tegaknya hukum dan keadilan, penulis mengusulkan agar negara mengalokasikan 2% dari APBN setiap tahun bagi Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya.

Kebijakan tersebut, sejalan dengan Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945, yang menegaskan Indonesia adalah negara hukum. Alokasi anggaran yang memadai akan memastikan peradilan berjalan secara adil, independen, dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Sejalan dengan pemikiran Tan Malaka, kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan kolonial, tetapi juga dari segala bentuk ketidakadilan dalam sistem hukum dan pemerintahan.

Hanya dengan kemandirian penuh, termasuk dalam anggaran, peradilan dapat menjalankan perannya sebagai penjaga keadilan yang sejati, menjadikan hukum sebagai panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penulis: Iqbal Lazuardi
Editor: Tim MariNews