Hakim Federal di Amerika Serikat diberikan Hak Keamanan, berdasarkan Undang-Undang Peradilan 1789 dan Undang-Undang Pengendalian Kejahatan Terorganisir pada 1970.
Pengamanan Hakim Federal di Amerika Serikat dilakukan oleh U.S Marshals, U.S.
Marshals Service memiliki tanggung jawab utama untuk keamanan hakim federal. Mereka melakukan penilaian risiko, menyediakan pengawalan, mengamankan gedung pengadilan, dan melindungi hakim di rumah. Setelah beberapa insiden yang melibatkan ancaman terhadap hakim, ada peningkatan fokus pada keamanan siber dan perlindungan informasi pribadi.
U.S. Marshals Service bertanggung jawab utamanya untuk melindungi proses peradilan federal, termasuk hakim, jaksa, personel pengadilan, dan juri. Mereka melakukan penilaian risiko, menyediakan pengawalan, mengamankan gedung pengadilan, pengawalan keluarga hakim dan memberikan perlindungan di kediaman hakim jika diperlukan.
Adapun divisi khusus yang dibentuk bertugas untuk melakukan pengamanan hakim di antaranya adalah (Judicial Security Division) Divisi khusus dalam U.S. Marshals Service yang fokus pada keamanan hakim. Mereka, mengelola kontrak untuk petugas keamanan pengadilan, memasang dan memelihara sistem keamanan di gedung pengadilan dan kediaman hakim, serta mengembangkan dan menerapkan strategi keamanan.
Judicial Security Division dari U.S Marshall memiliki tugas tugas diantaranya Court Security Officers (CSOs) yaitu, petugas keamanan kontrak oleh U.S Marshall yang bertugas di gedung pengadilan untuk melakukan pemeriksaan, menjaga ketertiban, dan merespons situasi darurat. Residential Security Systems (RSS) U.S. Marshals Service yang menyediakan dan memelihara sistem keamanan di rumah hakim yang dianggap berisiko tinggi.
Threat Assessment and Management (TAM) U.S. Marshals Service memiliki unit yang bertugas menilai dan mengelola ancaman terhadap hakim. Mereka bekerja sama dengan badan penegak hukum lainnya untuk menyelidiki ancaman dan mengambil langkah-langkah pencegahan.
Increased Threats (Peningkatan Ancaman)
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan ancaman terhadap hakim di Amerika Serikat. Hal ini menjadi perhatian serius bagi badan-badan peradilan dan penegak hukum, yang berupaya meningkatkan keamanan dan dukungan bagi para hakim.dan Countering Threats and Attacks on Our Judges Act (peraturan tentang penanggulangan ancaman dan serangan terhadap hakim). Undang-undang bipartisan ini sedang dipertimbangkan oleh kongres untuk meningkatkan keamanan hakim negara bagian dan lokal dengan membentuk pusat intelijen dan sumber daya ancaman yudisial.
Begitu lengkap dan paripurnanya pengamanan hakim yang dilakukan oleh U.S Marshals di Amerika Serikat, secara keseluruhan, U.S. Marshals Service memiliki peranan penting dalam melindungi hakim demi menjaga kemandirian dan integritas sistem peradilan federal.
Mereka menawarkan keamanan yang menyeluruh, mulai dari evaluasi risiko hingga perlindungan fisik dan penyelidikan terhadap ancaman, untuk memberikan jaminan bahwa hakim dapat melaksanakan tugas mereka tanpa merasa tertekan atau terancam. Dengan pengamanan oleh U.S Marshals Service bagi Hakim di Amerika Serikat saja masih memiliki tantangan dan hambatan di lapangan yang terus dievaluasi dan dikembangkan sesuai dengan Kebutuhan, seperti penambahan personel dan lain sebagainya.
Lalu Bagaimana dengan Pengamanan Hakim di Republik Indonesia?
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman di Pasal 48 Dalam BAB VIII Jaminan Keamanan dan Kesejahteraan Hakim Pasal 48 (1) Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. (2) Jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengamanan hakim di Indonesia juga diatur jelas dalam Pasal 2 Huruf F Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2012 Tentang Hak Keuangan Dan Fasilitas Hakim, BAB II Hak Keuangan dan Fasilitas Pasal 2 Hak keuangan dan fasilitas bagi hakim terdiri atas: a.) gaji pokok; b.) tunjangan jabatan, c.) rumah negara; d.) fasilitas transportasi; e.) jaminan kesehatan; f.) jaminan keamanan; g.) biaya perjalanan dinas; h.) kedudukan protokol; i.) penghasilan pensiun; dan j.) tunjangan lain.
Artinya, selain daripada jaminan keamanan hakim juga diberi hak-hak lainnya yang diatur dalam peraturan ini.
Lebih tegas lagi dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah tersebut, mengatur Pasal 7 Ayat (1) Hakim diberikan jaminan keamanan dalam pelaksanaan tugas. Ayat (2) Jaminan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.) tindakan pengawalan; dan b.) perlindungan terhadap keluarga. Ayat (3) Jaminan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didapatkan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia atau petugas keamanan lainnya. Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Keputusan Mahkamah Agung.
Dalam aturan peraturan perundang-undangan yang ada secara normatif seolah-olah telah lengkap dan jelas mengenai hak-hak hakim utamanya, hak jaminan keamanan bagi hakim, namun apakah hak hak tersebut telah berjalan dengan adanya aturan pelaksana, yang dilengkapi dengan man power (tenaga manusia/personel), money power (anggaran yang disediakan pemerintah untuk menyelenggarakan) dan material power (materi seperti sistem, sistem pengawasan dan sistem evaluasi) yang memadai di Indonesia?
Sehingga melalui peraturan pemerintah Tersebut, pemerintah juga seharusnya perlu memastikan dengan benar dan mengevaluasi apakah hak-hak hakim yang diatur secara jelas itu, telah terlaksana tepat sasaran dan terdistribusi dengan baik atau belum. Selain daripada gaji pokok dan tunjangan jabatan, hak atas rumah negara yang layak dan aman, juga harus dipastikan telah terdistribusi dan terevaluasi dengan baik sampai kepada hakim nya dan rumah negara hakim tersebut, layak untuk menjaga kualitas hidup dan keamanan hakim, juga bantuan sewa rumah dinas hakim itu, cukup untuk menyewa rumah atau hanya kamar kos saja.
Begitupun kedudukan protokol hakim, seperti pada hal apa saja hak protokol hakim itu diperlukan dan bagaimana aturan pelaksanaannya sudahkah protokol keamanan juga termuat dalam hak protokol hakim, yang kesemuanya koheren secara berkesinambungan dapat saling mendukung keamanan hakim.
Mengenai jaminan keamanan hakimnya, apalagi hal itu telah dipertegas bahwa terdapat pula perlindungan terhadap keluarga hakim. Hal ini selayaknya menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah Republik Indonesia yang tidak hanya menjadi tanggung jawab administrasi dalam Mahkamah Agung saja. Hak-Hak ini diberikan tentunya untuk melindungi kemandirian hakim, karena hakim sebagai penyelenggara negara di bidang yudikatif tentunya hanya boleh bergantung pada negara saja dan untuk kepentingan negara dalam memberikan keadilan.
Jaminan keamanan hakim pada saat ini masih mengakomodir tentang protokol persidangan dan keamanan di lingkungan pengadilan saja berdasarkan risiko terhadap suatu perkara atau apabila terdapat adanya mobilisasi massa pada saat persidangan. Untuk pengamanan sehari-hari bergantung pada petugas keamanan pengadilan saja, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2020 mengenai Protokol Persidangan dan Keamanan di Lingkungan Pengadilan: PERMA ini menetapkan protokol keselamatan di pengadilan dan menjamin perlindungan bagi semua individu di area tersebut, termasuk para hakim. Beberapa hal penting mengenai keamanan hakim dalam PERMA ini pada pokoknya mencakup:
- Larangan terhadap tindakan yang dapat mengancam keselamatan hakim/Majelis Hakim.
- Setiap pengadilan harus memiliki pintu pengaman di ruang sidang untuk melindungi hakim/Majelis Hakim dan panitera pengganti.
- Penataan ruang sidang harus mempertimbangkan jarak aman antara tempat duduk hakim/Majelis Hakim dan pihak yang berperkara serta pengunjung.
- Setiap ruang sidang harus dilengkapi dengan sistem alarm/sirene untuk menangani keadaan darurat.
- Ketua pengadilan dapat bekerja sama dengan aparat keamanan untuk menjaga keamanan selama persidangan. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 6 Tahun 2020 mengenai Perubahan atas PERMA Nomor 5 Tahun 2020: Aturan ini memperbaiki beberapa ketentuan dalam PERMA sebelumnya terkait dengan protokol persidangan dan keamanan.
Sedangkan menurut penulis peraturan teknis yang disertai dengan man power, money power dan material power untuk jaminan keamanan di luar persidangan dan di luar gedung pengadilan masih belum ada. Begit juga mengenai pengawalan hakim dan perlindungan keluarga hakim masih belum ada.
Pemenuhan atas hak-hak ini dapat berlangsung dan terjamin yakni dengan perencanaan, pengaturan, penerapan, dan pengawasan yang berkesinambungan dan lengkap, sebagaimana dengan teori POAC (Planning, Organizing, Actuating, Controlling) oleh George R. Terry dalam bukunya Principles of Manajemen, yang dapat diterapkan untuk memastikan hak-hak hakim terlaksana dengan baik.
Singkatnya, selain daripada aturan tertulis yang ada di dalam undang-undang juga terdapat sistem pelaksana dan aturan pelaksanaan yang lengkap, mengakomodir semua hak tersebut, dan adanya pengawasan secara periodik untuk memastikan bahwa hak-hak tersebut diterima dan terdistribusi dengan baik.
Menurut Penulis, hal-hal yang dapat dilakukan untuk mendorong agar pelaksanaan dari hak-hak hakim yang sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pasal 2 Huruf F, diperlukan man power, money power dan material power yang cukup untuk memastikan hak-hak tersebut terpenuhi, selain memastikan hak gaji dan tunjangan yang cukup bagi hakim. Sehingga, menghindari praktik korupsi karena kebutuhan (corruption by needs).
Mengenai rumah negara perlu adanya sistem pengawasan dan tinjauan kelayakan rumah dinas. Agar rumah dinas tersebut, benar-benar layak dan aman. Dana pemeliharaan rumah dinas yang diberi juga perlu diawasi. Agar telah tepat sasaran dan digunakan sesuai dengan kebutuhan yang nyata di lapangan, serta dapat menunjang keamanan.
Berdasarkan aturan yang ada, mekanisme pengelolaan rumah dinas dengan sumber anggaran negara definitif dipegang oleh sekertaris di setiap satuan kerja pengadilan. Sebagai kuasa pengguna anggaran dan kuasa pengguna barang milik negara dan pelaksanaannya dilakukan oleh pejabat pembuat komitmen.
Dengan analisis teori POAC, tentunya diperlukan sistem pengawasan yang lebih ketat dan merit tidak hanya berbasis dari adanya laporan saja. Ini karena anggaran yang diberikan setiap tahun dan penyerapan anggaran dituntut 100% terserap efektif. Namun, sangat perlu diawasi secara periodik dan berkesinambungan sampai kepada pembelian bahan pokok bangunan dan biaya tukang (vendor) agar tepat sasaran dan penggunaannya efisien. Baik itu oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung secara berkala setiap tahunnya misalnya, maupun lembaga pengawas keuangan milik pemerintah lainnya agar selalu dilakukan audit keuangan. Terlebih karena anggaran tersebut bersumber dari pendapatan negara dan pajak masyarakat. Maka, sangat perlu untuk diawasi secara komprehensif dan berkala agar menjamin hak hakim atas rumah negara yang layak, aman, dan nyaman yang telah dijamin undang-undang dapat benar benar terwujud dan mendukung keamanan hakim.
Rumah dinas yang sudah tidak layak dan telah lama mangkrak, sebaiknya dilakukan lelang dan penjualan barang milik negara saja. Hasilnya dapat dipergunakan untuk hal yang lebih bermanfaat, seperti penambahan bantuan biaya sewa rumah dinas hakim. Begitu pun untuk bantuan sewa rumah dinas bagi hakim. Perlu ditinjau mengenai besaran bantuan sewa rumah dinas yang diberikan apakah sudah cukup untuk menyewa rumah atau hanya dapat untuk menyewa kamar kost (bedakan) saja di suatu daerah tempat hakim bertugas, atau masih belum cukup, dan hakim masih harus membayar sisanya. Jikapun hakim tidak dapat rumah negara dan anggaran perbaikannya, tetapi mendapatkan rumah yang layak serta dapat memilih rumah dengan keamanan yang dapat dijangkau dengan mudah.
Mengenai kedudukan protokol hakim, juga perlu dibuat aturan yang lebih rigid dan lengkap mengenai apa saja yang dimaksud dengan hak protokol tersebut. Sejauh mana aturan hak protokol bagi hakim dalam menjaga keamanan, independensi, dan kemandirian hakim dalam suatu peraturan pemerintah di eksternal dan peraturan mahkamah di internal.
Kemudian mengenai jaminan keamanan hakim, menurut penulis, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI yang baru) mengubah beberapa aspek terkait peran TNI. UU ini memperluas kekuasaan TNI untuk ditugaskan di kementerian atau lembaga di luar sektor pertahanan, termasuk Mahkamah Agung, seperti yang tercantum di Pasal 47 ayat 1 huruf l. Pasal 47 ayat (3) menyatakan, penugasan prajurit TNI di kementerian/lembaga dilakukan atas permintaan pimpinan kementerian/lembaga tersebut dan harus mematuhi aturan administrasi yang berlaku.
Dengan adanya ketentuan baru dalam UU TNI 2025, Mahkamah Agung memiliki kesempatan untuk meminta penugasan prajurit TNI agar meningkatkan keamanan hakim dan lingkungan peradilan. Namun, hal ini sangat tergantung pada peraturan teknis lebih lanjut yang akan menjelaskan mekanisme penugasan, tugas, dan kolaborasi antara TNI dan Mahkamah Agung.
Di samping itu, penting untuk memperhatikan pandangan dari berbagai pihak mengenai kemungkinan keterlibatan TNI di bidang yudisial dan konsekuensinya terhadap independensi peradilan. Ini karena, hakim di bawah Mahkamah Agung juga akan suatu saat berkesempatan bertemu dengan Polri maupun TNI sebagai pihak yang berperkara dalam persidangan. Baik itu di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Militer.
Akan tetapi, dengan membuat suatu unit khusus organik TNI untuk melakukan pengamanan terhadap hakim, memenuhi hak-hak pengamanan hakim di luar persidangan, pengawalan, dan perlindungan terhadap keluarga hakim. Maka, hak keamanan hakim dapat lebih terjamin untuk melaksanakan tugas secara independen, seperti Judicial Security Division oleh U.S Marshals Service of United States di Amerika Serikat yang memiliki tugas khusus untuk melakukan pengamanan dan pengawalan bagi hakim dalam melaksanakan tugas.
Dengan dipenuhinya hak-hak hakim yang telah dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan yang terlaksana dengan pengawasan yang baik. Maka, seharusnya berbanding lurus dengan kemandirian dan integritas hakim yang terjamin dalam memberikan pelayanan bagi para pencari keadilan, dan segala bentuk pelayanan yang bersifat transaksional harus dihilangkan.