“Keadilan sejati tidak hanya diputus di ruang sidang, tetapi lahir dari hati yang tak menyerah untuk mencari terang.”
Sebuah Cahaya Terbit
Di tengah gema takbir wisuda Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung, berdirilah sosok yang menyalakan harapan bagi banyak jiwa. Ia adalah Supron Ridisno, penyandang tunanetra yang berhasil menembus gelar doktor pada Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI).
Keterbatasan penglihatan tidak memadamkan semangatnya menuntut ilmu, justru menjadi lentera yang menerangi ruang akademik dengan pesan mendalam: bahwa keadilan bukan hanya milik mereka yang sempurna, melainkan hak setiap insan yang berjuang dengan ketulusan.
Melalui disertasinya berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah Guna Pemberdayaan Penyandang Disabilitas di Provinsi Lampung”, Supron Ridisno tidak sekadar menulis untuk meraih gelar, Ia menulis untuk menyalakan kesadaran.
Penelitiannya mengungkap hambatan nyata yang dihadapi penyandang disabilitas dalam memperoleh hak-hak sosial, pendidikan, dan pekerjaan yang layak. Temuan itu menjadi cermin bagi para pengambil kebijakan untuk lebih berpihak pada kaum rentan.
Dalam konteks inilah, perjuangan akademik Supron menjadi wujud nyata dari keadilan substantif keadilan yang tidak berhenti di teks, tetapi hidup dalam tindakan nyata.
Keadilan Inklusif dan Maqāṣid al-Syarī‘ah
Perjuangan Supron Ridisno menemukan maknanya ketika dibaca melalui dua fondasi hukum yang saling melengkapi Teori Keadilan Inklusif dan Maqāṣid al-Syarī‘ah.
Teori Keadilan Inklusif menegaskan bahwa hukum harus membuka akses bagi semua, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik dan sosial.
Prinsip ini sejalan dengan gagasan John Rawls tentang justice as fairness dan pendekatan Martha Nussbaum tentang kemampuan dasar manusia (capabilities approach).
Keadilan baru bermakna ketika setiap individu diberi kesempatan nyata untuk berkembang sesuai potensi dan martabatnya.
Sementara itu, Maqāṣid al-Syarī‘ah memandang keadilan sebagai penjagaan terhadap lima hal dasar: agama (ḥifẓ al-dīn), jiwa (ḥifẓ al-nafs), akal (ḥifẓ al-‘aql), keturunan (ḥifẓ al-nasl), dan harta (ḥifẓ al-māl).
Perjuangan kaum rentan seperti Supron adalah wujud nyata dari ḥifẓ al-nafs dan ḥifẓ al-‘aql menjaga kehidupan sekaligus memuliakan akal.
Dalam pandangan Islam, memperjuangkan hak-hak difabel bukan semata kebijakan sosial, tetapi bagian dari ibadah kemanusiaan.
Kaum Rentan dan Visi Keadilan Mahkamah Agung
Kisah Supron Ridisno sejatinya sejalan dengan semangat reformasi peradilan yang kini digelorakan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui visinya “Peradilan yang Agung”yang menekankan profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas aparatur peradilan dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Kebijakan Mahkamah Agung mengenai Akses terhadap Keadilan (Access to Justice) bagi Kelompok Rentan (Vulnerable Group) berakar kuat pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Undang-undang ini menjadi landasan hukum penting untuk menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di berbagai bidang kehidupan mulai dari aksesibilitas, pendidikan, pekerjaan, hingga kesehatan dan partisipasi sosial.
Prinsip yang dikandung di dalamnya menegaskan semangat equality before the law, bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, tanpa terkecuali.
Perlindungan hukum terhadap kelompok rentan juga mendapat dasar konstitusional yang kuat melalui Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentnag Hak Asasi Manusia, yang menegaskan hak untuk memperoleh perlakuan dan perlindungan khusus sesuai kebutuhan mereka.
Komitmen tersebut menjadi tonggak moral lembaga peradilan, bahwa pengadilan tidak hanya menegakkan teks hukum, tetapi juga menyalakan cahaya keadilan bagi mereka yang lemah dan terpinggirkan.
Dalam kerangka itulah, perjuangan Supron Ridisno mencerminkan arah baru reformasi hukum yang berpihak, manusiawi, dan bernafaskan spiritualitas keislaman meneguhkan keyakinan bahwa keadilan sejati bukan sekadar keputusan yuridis, melainkan panggilan nurani untuk memuliakan kemanusiaan.
Makna Spiritualitas dan Inspirasi
Supron Ridisno bukan sekadar akademisi difabel ia adalah simbol cahaya keadilan yang bersinar dari tempat yang tak terduga. Langkahnya menuju ruang promosi doktor pengajarkan bahwa keadilan tidak bergantung pada kesempurnaan jasmani, tetapi pada kesungguhan nurani.
Ia telah menegaskan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk melayani kemanusiaan melalui ilmu, dan bahwa setiap manusia, apa pun kondisinya, dapat menjadi pembawa cahaya bagi dunia di sekitarnya.
Kisah Supron memberi pesan mendalam dunia peradilan dan pendidikan Islam telah berjalan seiring menegakkan keadilan substantif.
Hakim, akademisi, dan aparat peradilan dipanggil untuk memastikan tidak ada manusia yang tertinggal dalam akses terhadap hukum dan ilmu.
Cahaya keadilan yang dipancarkan kaum rentan menjadi pengingat bahwa tugas utama penegak hukum bukan hanya memutus perkara, tetapi menghidupkan nilai kemanusiaan dalam setiap putusan.
Penutup
Ketika gelar “Doktor” itu disematkan, sejatinya bukan hanya pengakuan akademik, tetapi peneguhan spiritual bahwa keadilan sejati lahir dari keberanian dan kesetaraan.
Supron Ridisno telah menulis bab penting dalam sejarah pendidikan Islam dan keadilan sosial bab tentang keteguhan, keberanian, dan cahaya keadilan yang tak pernah padam bagi kaum rentan.
Refleksi Penulis
“Menulis tentang Supron Ridisno bukan sekadar mencatat kisah keberhasilan seorang doktor difabel, tetapi juga wujud tanggung jawab moral untuk menghadirkan kebenaran dengan cara yang beradab. Setiap kata dalam artikel ini ditulis dengan kesadaran penuh, bukan hanya untuk mematuhi norma hukum, tetapi juga menjunjung tinggi etika dan kode etik jurnalistik. Karena keadilan yang sejati tidak hanya lahir dari pasal-pasal hukum, tetapi juga dari hati yang jujur dan pena yang menjaga martabat manusia. Dalam cahaya itulah, kaum rentan menemukan tempatnya di pangkuan keadilan dan kemanusiaan.”
Sumber sumber
Sumber data: pasca.radenintan.ac.id; liputan6.com; lampung.nu.or.id; kumparan.com;
UUD 1945 pasal 28H ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentnag Hak Asasi Manusia, Pasal 5 ayat (3)
Nussbaum (2006); teori maqāṣid al-syarī‘ah klasik.