Persbreidel Ordonantie 1931: Aturan Hukum Kolonial Guna Bungkam Pers Kritis

Sebelum kemerdekaan, pemerintah kolonial juga berupaya meredam pers, agar tidak menyampaikan fakta kesengsaraan rakyat jajahan atau mewartakan pergerakan nasional dan kesadaran atas kemerdekaan, yang terus tumbuh di lingkungan intelektual bumiputera.
Harian Indonesia Raya dibredel era Orde Lama. Dokumentasi Akarpadinews.com
Harian Indonesia Raya dibredel era Orde Lama. Dokumentasi Akarpadinews.com

Hak memperoleh dan mencari informasi merupakan bagian dari hak kodrati manusia, yang dilindungi Konstitusi (vide Pasal 28F UUD NRI1945). Demikian juga ditegaskan ketentuan Pasal 14 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak warga negara memperoleh informasi bagian dari Hak Asasi Manusia.

Secara internasional, hak publik memperoleh informasi melalui berbagai kanal media atau pemberitaan, diatur Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Pasal 19 Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Maka ditarik kesimpulan, pers merdeka dan berdaulat, sebagai implementasi perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia. Teknis perlindungan pers merdeka, tidak dapat dikenakan sensor, pembredelan atau larangan penyiaran, sebagaimana ketentuan Pasal 4 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Walaupun pers dilindungi kedaulatannya, namun pers berkeharusan menghargai norma agama dan kesusilaan masyarakat, serta asas praduga tidak bersalah, berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 UU Pers.

Selain itu, ketentuan Pasal 5 Ayat 2 UU Pers menjelaskan, pemberitaan media massa yang dinyatakan berbeda dengan fakta atau diprotes, karena menyerang nama baik seseorang, di mana orang yang dirugikan mengajukan sanggahan dan media wajib mencantumkan hak koreksi, serta jawab dimaksud

Adanya kemerdekaan dan kedaulatan pers saat ini, tidak terlepas sejarah perjalanan panjang sensor dan pembredelan pers Indonesia. Pengekangan media massa telah hadir sejak era kolonial dan berlanjut sampai orde baru. 

Dalam catatan sejarah nasional pembredelan pers, yang terkenal dan jadi catatan sejarah, yakni dilakukan terhadap Majalah Tempo dan Detik pada 21 Juni 1994. Era Orde Lama, juga tidak kalah agresif terhadap suara kritis media massa, di mana melarang penerbitan Harian Indonesia Raya, Pedoman dan Nusantara.

Bahkan setelah dekrit 5 Juli 1959 dan memasuki fase demokrasi terpimpin, pemerintahan Orde Lama menebitkan kewajiban bagi media massa, guna memiliki Surat Izin Terbit. Kebijakan tersebut, dinilai sebagai upaya mengontrol kedaulatan pers.

Sebelum kemerdekaan, pemerintah kolonial juga berupaya meredam pers, agar tidak menyampaikan fakta kesengsaraan rakyat jajahan atau mewartakan pergerakan nasional dan kesadaran atas kemerdekaan, yang terus tumbuh di lingkungan intelektual bumiputera.

Menariknya frasa kata pembredelan, juga diambil dari ketentuan perundang-undangan kolonial, yang membatasi media. Tepatnya pada 1931, pemerintah jajahan menerbitkan Persbreidel Ordonantie, yang terekam Staatsblad Nomor 394 dan 44 Tahun 1931.

Dalam Persbreidel Ordonantie, Gubernur Jenderal Hindia Belanda memiliki kewenangan untuk melarang koran harian atau majalah yang dinilai mengganggu ketertiban umum. Tindakan pelarangan tersebut, diiringi dengan tidak adanya upaya hukum yang dapat ditempuh redaksi atau penerbit media massa tersebut di lembaga peradilan.

Demikianlah sejarah hukum, pengaturan media massa yang dipenuhi riwayat pembungkaman dan pembredelan. Semoga dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi para pembacanya, khususnya para penikmat sejarah nasional.

Sumber Referensi 

- https://news.detik.com/kolom/d-2880626/breidel-itu-untuk-kuda-pers-jangan 

- https://kabarika.id/humaniora/2025/02/04/catatan-menyambut-hpn-ke-40-tahun-2025-2-jejak-penerbitan-pers-di-zaman-hindia-belanda

- https://www.kompas.com/stori/read/2023/03/14/140000179/sejarah-pembredelan-pers-dari-masa-ke-masa

- https://kumparan.com/azzahraff169/rekam-jejak-kebebasan-pers-di-indonesia

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews