Perkembangan KUHP Nasional membawa warna baru dalam sistem hukum Indonesia.
Salah satu aspek penting yang kerap luput dari perhatian publik adalah ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana bagi pelaku dengan gangguan jiwa, sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 dan 39.
Dua pasal ini pada dasarnya mengatur bagaimana seseorang yang mengalami gangguan jiwa dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana atau diperlakukan secara berbeda dalam proses peradilan.
Namun, muncul satu persoalan besar: siapa sebenarnya yang berwenang melakukan asesmen kejiwaan?
Apakah cukup penilaian dari psikolog atau psikiater rumah sakit pemerintah? Ataukah perlu ada lembaga khusus yang ditunjuk, misalnya Dinas Kesehatan atau Kementerian Kesehatan?
Sampai hari ini, hal itu masih belum terjawab tuntas. Kekosongan hukum inilah yang kemudian menimbulkan kebingungan, baik bagi aparat penegak hukum maupun hakim yang memeriksa perkara.
Di satu sisi, hakim tentu membutuhkan landasan objektif untuk menentukan apakah seorang terdakwa benar-benar tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya karena gangguan jiwa.
Di sisi lain, tanpa pedoman yang jelas, asesmen kejiwaan rawan diperdebatkan, bahkan bisa menjadi celah untuk memanipulasi proses hukum.
Hal ini dapat mengurangi kepastian hukum yang seharusnya dijunjung tinggi dalam setiap putusan.
Di titik inilah peran Mahkamah Agung menjadi strategis. Sebagai lembaga yudikatif tertinggi, MA dapat mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) sebagai acuan teknis bagi hakim dalam menerapkan Pasal 38 dan 39 KUHP.
Dengan adanya Perma, hakim akan memiliki standar yang sama, sehingga putusan bisa lebih konsisten, transparan, dan adil.
Namun, tanggung jawab bukan hanya di pundak MA. Pemerintah bersama kementerian terkait juga perlu segera menyusun regulasi atau mekanisme resmi mengenai siapa yang berwenang melakukan asesmen kejiwaan, bagaimana standar pemeriksaannya, dan sejauh mana hasil asesmen itu mengikat hakim.
Dengan adanya aturan yang komprehensif, maka tidak hanya kepastian hukum yang terjamin, tetapi juga hak-hak terdakwa dan masyarakat tetap terlindungi.
Harapan kita, penerapan KUHP Nasional tidak berhenti pada teks undang-undang, tetapi benar-benar menjawab tantangan praktik di lapangan.
Asesmen kejiwaan bukan sekadar soal medis, melainkan juga soal keadilan.