Pengertian Keadilan Restoratif
Keadilan Restoratif adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan (vide Pasal 1 angka 1 PERMA 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif).
Saat ini, fenomena penerapan keadilan restoratif dalam perkara pidana telah banyak diterapkan oleh Pengadilan Negeri, hal ini menandakan semangat perdamaian telah hidup di ruang persidangan, yang bertujuan memulihkan hubungan korban dan pelaku yang sebelumnya sempat retak, sehingga dapat pulih kembali.
Perma 1/2024 berlaku untuk perkara pidana, termasuk dalam lingkup pidana jinayat dan militer. Ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung ini, berlaku juga dalam mengadili perkara Anak sesuai ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Selain itu, pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif wajib diterapkan oleh seluruh Pengadilan, berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku.
Klasifikasi Perkara Pidana yang Dapat Diterapkan Keadilan Restoratif
Dalam Pasal 6 Ayat (1) mengatur Hakim untuk menerapkan pedoman mengadili perkara pidana, berdasarkan keadilan restoratif apabila terpenuhi salah satu dari tindak pidana sebagai berikut:
- tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari 2,5 juta rupiah atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat;
- tindak pidana merupakan delik aduan;
- tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun;
- tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil; atau
- tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.
Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan Hakim tidak berwenang menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal:
- Korban atau Terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian;
- terdapat Relasi Kuasa; atau
- Terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Selanjutnya, timbul pertanyaan apakah perkara pidana dengan ancaman lebih dari 5 tahun penjara, Hakim dapat menerapkan mekanisme keadilan restoratif dalam persidangan?
Bilamana mengacu ketentuan Pasal 6 Ayat 1 huruf c, tentu Hakim dapat menerapkan keadilan restoratif dengan catatan bahwa di dalam salah satu dakwaan Penuntut Umum terdapat pasal yang ancaman pidananya 5 tahun ke bawah, dengan tambahan syarat sebagai berikut:
- Korban dan Terdakwa tidak menolak untuk melakukan perdamaian (Pasal 6 Ayat 2)
- Terdakwa membenarkan seluruh perbuatan yang didakwakan disertai juga dengan tidak diajukannya nota keberatan oleh Terdakwa (Pasal 7)
- Telah terjadi perdamaian antara Korban dan Terdakwa sebelum persidangan, maka Hakim berwenang memeriksa kesepakatan yang telah dibuat antara Terdakwa dan Korban (Pasal 9)
Lantas, bagaimana seandainya Terdakwa didakwa dengan dakwaan tunggal yang ancaman pidananya lebih dari 5 tahun, namun Terdakwa dan Korban telah melakukan perdamaian sebelum persidangan atau pada saat persidangan Korban dan Terdakwa bersedia untuk berdamai dan Korban memaafkan perbuatan Terdakwa, apakah Hakim dapat menerapkan keadilan restoratif dalam putusannya?
Menurut hemat Penulis, perkara yang ancaman hukumannya penjara lebih dari 5 tahun, akan tetapi telah terjadi kesepakatan perdamaian antara Terdakwa dan Korban, atau Terdakwa dan Korban bersedia untuk berdamai, sebaiknya Hakim tetap dapat menyelesaikan perkara pidana tersebut melalui mekanisme keadilan restoratif.
Hal ini, dikarenakan ruh dan semangat pembentukan PERMA 1 Tahun 2024, yakni dalam Pasal 3, antara lain bertujuan sebagai berikut:
- Memulihkan korban tindak pidana,
- Memulihkan hubungan antara Terdakwa, Korban, dan/atau masyarakat,
- Menganjurkan pertanggungjawaban Terdakwa, dan menghindarkan setiap orang, khususnya Anak, dari perampasan kemerdekaan.
Penting diketahui, penerapan prinsip Keadilan Restoratif tidak bertujuan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana dari Terdakwa.
Artinya, walaupun antara Terdakwa dan Korban telah berdamai, namun Terdakwa tetap dapat dijatuhi pidana, namun menjadi pertimbangan bagi Hakim untuk menjatuhkan hukuman yang dirasa tepat kepada Terdakwa (vide Pasal 19 Perma Nomor 1 Tahun 2024)
Saat Hakim menemui perkara, dimana Korban dan Terdakwa bersedia untuk berdamai, serta Korban memaafkan perbuatan Terdakwa, di mana menurut penulis sudah sepatutnya Hakim menggunakan mekanisme keadilan restoratif, sekalipun ancaman hukumannya misalnya lebih dari 5 tahun penjara.
Hakim sebaiknya bersikap bijaksana untuk tetap menerapkan keadilan restoratif dalam putusannya bila menemui kasus seperti yang disebutkan di atas, sepanjang perbuatan Terdakwa hanya berdampak pada korban semata/tidak berdampak luas pada masyarakat umum.
Hal tersebut, dikarenakan perkembangan sistem pemidanaan saat ini, berpedoman pada penyelarasan kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban Terdakwa dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.




