Ethical Naturalism sebagai Upaya Mencari Moral Objektif dalam Legislasi yang Berkeadilan

Dapat dilihat bahwa, Ethical Naturalism memberikan arah bahwa pencarian moral objektif bukanlah angan-angan, melainkan kebutuhan mendesak bagi legislasi yang berkeadilan.
Ilustrasi integritas hukum. Foto: lawoffice.org.il/
Ilustrasi integritas hukum. Foto: lawoffice.org.il/

Setiap masyarakat mendambakan hukum yang bukan hanya memaksa, tetapi juga adil. Namun, keadilan tidak dapat lahir dari kehendak sewenang-wenang atau kepentingan sempit.

Ia membutuhkan dasar moral yang kuat, sesuatu yang dapat diakui sebagai benar secara universal. Di sinilah Ethical Naturalism hadir, menawarkan gagasan bahwa moralitas memiliki pijakan objektif yang dapat ditemukan dalam realitas manusia dan alam semesta. Filsafat ini menghadirkan cahaya dalam usaha merumuskan legislasi yang berkeadilan.

Ethical Naturalism berangkat dari keyakinan bahwa nilai moral tidak berdiri di ruang hampa. Ia bukan sekadar konstruksi sosial, melainkan memiliki landasan dalam kenyataan alamiah. Baik dan buruk tidak didefinisikan oleh selera mayoritas, tetapi oleh kesesuaian dengan kodrat manusia dan keteraturan alam. Pandangan ini memberikan harapan bahwa hukum yang adil bisa ditopang oleh kebenaran yang tidak berubah-ubah.

Legislasi yang berkeadilan menuntut perumusannya berangkat dari nilai moral yang lebih tinggi. Ethical Naturalism memberi bingkai bahwa hukum positif harus bersesuaian dengan moral objektif, agar tidak terjebak menjadi sekadar instrumen kekuasaan. Dengan begitu, undang-undang bukan hanya aturan administratif, tetapi juga penegasan nilai-nilai kebenaran yang hidup.

Moral objektif yang ditawarkan filsafat ini sejalan dengan pencarian manusia akan fitrah. Ada kebaikan yang melekat dalam diri setiap insan, sebagaimana ada harmoni yang mengatur kosmos. Legislasi yang menyalurkan fitrah ini akan lebih mudah diterima masyarakat, karena ia berbicara kepada hati nurani yang terdalam.

Hukum yang dipisahkan dari moral objektif ibarat bangunan tanpa fondasi. Ia mungkin berdiri megah, tetapi mudah runtuh saat diterpa angin kepentingan. Ethical Naturalism meneguhkan bahwa hukum hanya kokoh bila ditopang oleh nilai moral yang bersumber dari realitas kehidupan itu sendiri.

Dalam konteks perundang-undangan, pandangan ini mengingatkan bahwa norma hukum tidak boleh dihasilkan dari kompromi pragmatis semata. Legislasi harus ditopang oleh keyakinan bahwa keadilan memiliki makna yang riil, dapat ditemukan, dan dapat diterapkan. Dengan demikian, hukum akan membawa rasa aman dan keyakinan, bukan sekadar kepatuhan formal.

Ethical Naturalism juga mengajarkan bahwa keadilan tidak bersifat relatif. Ada standar yang dapat dijadikan rujukan bersama, karena ia tumbuh dari kodrat manusia yang sama. Undang-undang yang selaras dengan standar itu akan berfungsi tidak hanya sebagai pengendali perilaku, tetapi juga sebagai penuntun moral yang membawa kebaikan bersama.

Kebenaran objektif yang dicari oleh Ethical Naturalism sejalan dengan keyakinan bahwa Tuhan menciptakan alam dengan hukum-hukum yang pasti dan moralitas yang abadi. Legislasi yang menyesuaikan diri dengan tatanan Ilahi ini tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga mulia secara spiritual.

Dengan berlandaskan moral objektif, hukum dapat menjadi instrumen penyembuhan. Ia tidak lagi dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai cahaya yang menuntun masyarakat menuju kehidupan yang lebih harmonis. Legislasi yang adil akan menciptakan keseimbangan, sebagaimana keteraturan alam yang menjadi cerminnya

Keindahan filsafat ini terletak pada kemampuannya menjembatani antara rasionalitas dan spiritualitas. Moral objektif yang ditawarkan tidak hanya dapat diuji dengan akal, tetapi juga dapat dirasakan dengan hati nurani. Legislasi yang bersandar pada kerangka ini akan memiliki legitimasi yang menyentuh dimensi akal, rasa, dan iman.

Perumusan undang-undang yang selaras dengan prinsip Ethical Naturalism bukanlah perkara mudah, tetapi ia menjanjikan hasil yang luhur. Hukum yang dihasilkan akan lebih dari sekadar teks; ia akan menjadi penjelmaan dari nilai kebaikan yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan masyarakat dan di hadapan Tuhan.

Setiap peradaban besar bertahan karena hukum yang ditegakkan tidak bertentangan dengan moral objektif. Sejarah menunjukkan, undang-undang yang menyalahi fitrah akhirnya runtuh oleh gelombang perlawanan nurani. Hal ini menegaskan bahwa keberlanjutan sistem hukum hanya mungkin tercapai jika ia sejalan dengan nilai moral yang hakiki.

Dapat dilihat bahwa, Ethical Naturalism memberikan arah bahwa pencarian moral objektif bukanlah angan-angan, melainkan kebutuhan mendesak bagi legislasi yang berkeadilan. Dengan bersandar pada prinsip ini, hukum akan menjadi pilar yang menegakkan kebenaran, menumbuhkan keadilan, dan menghadirkan kedamaian. Inilah wajah hukum yang sejati: berpijak pada moral objektif, berakar pada fitrah, dan berbuah pada keadilan yang diridai Ilahi.
 

 

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews