Banyak catatan sejarah dan kebudayaan negeri Jepang, yang dapat dijadikan pembelajaran. Prinsip memegang teguh kejujuran, kerja keras dan tanggung jawab adalah warisan budaya Jepang, yang dapat diadopsi dalam menjalani kehidupan.
Hal tersebut, salah satunya dinilai dari indeks persesi perilaku antikorupsi 2024, yang dirilis Transparency International. Dalam rilis dimaksud, menerangkan Jepang menduduki peringkat ke 20 negara antikorupsi dan tata kelola pemerintahan bersih, dari 180 negara di dunia.
Pemerintahan Jepang yang antikorupsi, sangat kontras bilamana dibandingkan dengan Indonesia, yang menduduki peringkat 99 negara berperilaku antikorupsi.
Demikian juga, Jepang menduduki posisi negara kelima di dunia, yang warganya pekerja keras atau workaholic, berdasarkan survei yang dilakukan sleepseeker.
Maka prinsip kejujuran, kerja keras dan tanggung jawab, menjadi kesatuan dengan kebudayaan Jepang, sudah sepatutnya ditiru masyarakat Indonesia, khususnya dalam tata kelola pemerintahan.
Kebudayaan Jepang lainnya, yang menarik untuk dipelajari dan diambil saripatinya adalah jiwa ksatria, yang berasal dari perjalanan panjang sejarah masyarakat Jepang, salah satunya periode kepemimpinan samurai, yang berlangsung sekitar 700 tahun, dari akhir abad ke 11 sampai dengan abad 18.
Awalnya prajurit samurai adalah kelas sosial rendahan, yang memiliki tugas menjaga tanah, aset dan pribadi para tuan tanah. Dalam menjalankan perannya, samurai memiliki kode etik untuk setia pada tuan yang mempekerjakan dan membayarnya, bahkan tingkatnya lebih tinggi dari kesetiaan terhadap keluarga.
Para prajurit tersebut, memimpin dan mendirikan pemerintahan di Jepang, setelah tumbangnya kekaisaran Heian. Periode keemasan Samurai memimpin Jepang, saat Keshogunan Tokugawa di era Edo.
Saat Keshogunan Tokugawa, yang memimpin selama 1603 sampai dengan 1868, sistem peradilan pidana atau perdata di negeri Sakura disusun. Bagi masyarakat umum dan samurai, bilamana melakukan pelanggaran hukum, akan dihadapkan pada peradilan berbeda.
Hakim berasal dari kelas samurai tertinggi atau disebut Bugyo dan ditugaskan pada pengadilan yang berada di kota-kota besar. Adapun dalam melaksanakan tugasnya, hakim dibantu oleh asisten (Yoriki).
Yoriki memiliki fungsi melaksanakan penyidikan dan melakukan pengawasan terhadap Doshin (pejabat kehakiman lainnya). Tugas Doshin sendiri, melakukan patroli guna mengawasi ada atau tidaknya tindak pidana di suatu daerah. Bilamana, diperlukan Doshin dapat melakukan penangkapan.
Hukum pidana yang diterapkan untuk samurai dan publik secara luas berbeda, di mana samurai yang melakukan kejahatan pidana serius dan berat, dihukum melaksanakan kewajiban seppuku.
Seppuku adalah jalan menegakan kehormatan, dengan lakukan ritual bunuh diri menggunakan belati yang ditusukan ke perut samurai tersebut.
Adapun masyarakat biasa, yang melakukan tindak pidana serius atau kejahatan berat, dihukum mati secara gantung. Proses eksekusi mati masyarakat biasa, dilakukan di hadapan umum.
Peradilan era samurai, memberikan kesetaraan gender dalam perlindungan dan penegakan hukumnya.
Demikianlah sejarah singkat, proses peradilan dan jabatan Hakim periode kekuasaan samurai di Jepang. Semoga dapat menambah pengetahuan bagi para pembacanya, khususnya penikmat sejarah hukum.
Sumber Referensi:
- https://id.tradingeconomics.com/japan/corruption-rank
- https://www.inilah.com/deretan-negara-paling-gila-kerja-dan-paling-lelah
- https://nationalgeographic.grid.id/read/133798035/membentang-selama-700-tahun-ini-sejarah-samurai-di-kekaisaran-jepang
- https://nationalgeographic.grid.id/read/133843990/selisik-penerapan-hukuman-di-kekaisaran-jepang-ketika-samurai-berkuasa
- https://ti.or.id/indeks-persepsi-korupsi-2024-korupsi-demokrasi-dan-krisis-lingkungan