Pembaharuan hukum acara pidana di Indonesia melalui penyusunan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) adalah momentum krusial untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia (HAM) ke dalam proses peradilan pidana.
Salah satu prinsip paling fundamental dan esensial adalah exclusionary rules (aturan pengecualian bukti). Prinsip ini wujud nyata dari prinsip due process of law yang menuntut agar negara, melalui aparat penegak hukumnya, tunduk pada hukum dalam upaya pencarian kebenaran.
KUHAP yang berlaku saat ini (UU No. 8 Tahun 1981) perlu kita kritisi bersama, karena exclusionary rules hanya diatur secara implisit, yaitu melalui tafsir terhadap Pasal 184 mengenai jenis alat bukti yang sah.
Ketidakjelasan ini, seringkali berujung penyalahgunaan wewenang oleh penyidik dalam melegitimasi penggunaan bukti yang diperoleh secara tidak sah/melanggar hukum (Unlawful Legal Evidence).
Maka, pengaturan exclusionary rules secara eksplisit dan komprehensif dalam RUU KUHAP merupakan kebutuhan mendasar, yang harus diprioritaskan.
Hakikat dan Landasan Filosofis Exclusionary Rules
Exclusionary rules adalah prinsip dalam hukum acara pidana yang mengesampingkan alat bukti yang diperoleh oleh aparat penegak hukum melalui cara-cara yang melanggar hukum atau hak asasi manusia (seperti penggeledahan tanpa surat perintah, penyitaan yang tidak sah, atau pengakuan, pernyataan tersangka yang didapat melalui penyiksaan).
Prinsip tersebut, dibungkus dengan metafora “the fruit of the poisonous tree” yang bermakna alat bukti yang diperoleh dengan cara tidak sah tidak dapat digunakan.
Adapun tujuan dari pengaturan exclusionary rules secara tegas, guna mencegah lembaga peradilan menjadi institusi yang melegitimasi kejahatan negara (pelanggaran hukum oleh aparat) dengan menolak menerima bukti yang diperoleh dengan cara tidak sah, mendorong aparat penegak hukum untuk mengumpulkan alat bukti dengan mematuhi prosedur hukum yang telah diatur, dan melindungi hak-hak dasar warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
Keterbatasan KUHAP Existing dan Urgensi Pembaharuan dalam RUU KUHAP
KUHAP existing hanya menekankan aspek formil alat bukti, dalam wujud jenisnya. Meskipun Pasal 183 KUHAP mensyaratkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan dari minimal dua alat bukti dimaksud timbul keyakinan hakim, namun penegasan mengenai cara perolehan alat bukti belum diatur secara gamblang sebagai syarat keabsahan.
Lembaga Praperadilan yang diatur Pasal 77, Pasal 78, Pasal 82, Pasal 83 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kemudian diperluas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Perkara Praperadilan, telah menjadi alat untuk menguji keabsahan upaya paksa (penangkapan, penetapan tersangka, penahanan, penyitaan, penggeledahan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan).
Namun, hasil praperadilan (seperti batalnya penyitaan) tidak selalu secara otomatis diartikan sebagai penerapan exclusionary rules yang mengikat Hakim pemeriksa pokok perkara untuk menolak bukti tersebut di persidangan.
Hal ini, menciptakan diskresi yang besar dan rentan terhadap ketidakpastian hukum.
RUU KUHAP harus mengakhiri ambiguitas tersebut, dengan mengatur prinsip exclusionary rules secara tegas. Pengaturan ini, penting untuk menunjukkan komitmen Indonesia terhadap standar HAM internasional dan terhadap konstitusi itu sendiri.
Dengan diaturnya prinsip tersebut. memberikan norma yang jelas dan tegas bagi Hakim pemeriksa pokok perkara dalam menilai keabsahan bukti, serta memberikan senjata hukum yang efektif bagi tersangka/terdakwa untuk melawan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan aparat penegak hukum.
RUU KUHAP harus memuat pasal yang secara tegas menyatakan prinsip pengecualian alat bukti yang diperoleh penyidik dengan cara tidak sah, seperti mencantumkan frasa “alat bukti yang diperoleh dengan cara-cara yang melanggar hak asasi manusia, melanggar ketentuan hukum acara pidana, atau tidak sesuai dengan tata cara perolehan alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, tidak mempunyai kekuatan pembukitan dan oleh karenanya wajib dikesampingkan, serta tidak dapat dijadikan dasar untuk penuntutan dan pemidanaan”.
Di sisi lain, RUU KUHAP juga harus memperkuat mekanisme pengujian keabsahan alat bukti dengan cara menguatkan lembaga praperadilan sebagai mekanisme ex post factum untuk menguji keabsahan penyitaan dan penggeledahan, dengan penetapan yang mengikat hakim pemeriksa pokok perkara terkait penerapan exclusionary rules dan mempertegas kewenangan hakim pemeriksa pokok perkara untuk menilai keabsahan bukti pada saat persidangan, baik atas keberatan Terdakwa/Penasihat Hukum maupun atas inisiatif Hakim sendiri (ex officio).
Tantangan Implementasi Exclusionary Rules di Indonesia
Implementasi exclusionary rules akan menghadapi tantangan dari sisi kultur dan struktur hukum, di mana aparat penegak hukum seringkali hanya fokus pada pencapaian target tanpa mempedulikan prosedur yang bertentangan dengan semangat due process of law, kemudian akan ada resistensi dari aparat yang merasa ruang gerak mereka dibatasi, sehingga perlu diimbangi dengan pelatihan, penguatan pengawasan, serta sanksi etik/disipliner yang tegas dari atasan institusi aparat penegak hukum tersebut,
Terakhir, penerapan prinsip dimaksud memerlukan kesiapan sistem peradilan untuk menanggung beban dalam menilai bukti yang menjadi dasar oleh penyidik dalam rangka membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan tersangkanya diperoleh secara sah (terutama dalam lembaga praperadilan).
Penutup
Pengaturan Exclusionary Rules secara tegas dalam RUU KUHAP adalah sebuah wacana yang harus segera direalisasikan dalam rangka mereformasi sistem peradilan pidana Indonesia.
Penerapan prinsip tersebut bukan hanya masalah teknis hukum acara, melainkan instrumen fundamental untuk menyeimbangkan kepentingan negara dalam memberantas kejahatan dengan memberikan perlindungan mutlak terhadap Hak Asasi Manusia warga negara.
RUU KUHAP harus memastikan bahwa due process of law tidak hanya menjadi frasa dan slogan semata, tetapi terwujud melalui ketentuan yang memaksa aparat penegak hukum untuk menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai koridor hukum, menjamin bahwa keadilan ditegakkan bukan hanya dari apa yang ditemukan, tetapi juga dari bagaimana hal tersebut ditemukan.
Daftar Referensi
Harahap, M. Yahya. (2016). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.
Latifa, Marfuatul. (2021). "Perlukah Mengatur Prinsip Exclusionary Rules of Evidence dalam RUU Hukum Acara Pidana?". Negara Hukum: Jurnal Penelitian Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI, Vol. 12, No. 1.
Nonet, Philippe, and Selznick, Philip. (1978). Law and Society in Transition: Toward Responsive Law. New York: Harper Colophon Books.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, mengenai perluasan objek Praperadilan.
Rahardjo, Satjipto. (2006). Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Yurisprudensi Amerika Serikat: Mapp v. Ohio, 367 U.S. 643 (1961).


