Jemari Hakim di Tengah Badai Hoaks: Refleksi Etika di Era Digital

Kita menyaksikan sendiri bagaimana media sosial kerap menjadi lahan subur bagi kebohongan, fitnah, dan kegaduhan sosial, bahkan negara.
Ilustrasi hakim. Foto ; Freepik.com
Ilustrasi hakim. Foto ; Freepik.com

Dunia media sosial kini telah menjelma menjadi ruang publik baru yang sangat berpengaruh. Di balik segala manfaatnya, media sosial juga menyimpan potensi destruktif yang tak bisa diabaikan, terutama ketika informasi hoaks menyebar cepat dan tak terkendali. 

Kita menyaksikan sendiri bagaimana media sosial kerap menjadi lahan subur bagi kebohongan, fitnah, dan kegaduhan sosial, bahkan negara.

Sayangnya, meski Indonesia telah memiliki lembaga resmi seperti Kementerian Komunikasi dan Digital, kemampuan negara dalam membendung arus hoaks ini masih belum maksimal. 

Fakta bahwa informasi palsu terus merebak dan dipercaya oleh sebagian masyarakat membuktikan bahwa regulasi dan literasi digital masih tertinggal jauh dibanding kecepatan jari-jemari pengguna medsos.

Yang ironis dan memprihatinkan, banyak dari penyebar informasi hoaks justru berasal dari kalangan terdidik. Tak hanya sekadar tidak mampu memfilter informasi yang masuk, sebagian malah ikut menyebarkannya tanpa pikir panjang. 

Lebih mencengangkan lagi, dalam barisan orang terdidik itu, ada pula sosok yang berprofesi sebagai hakim.

Jika seorang hakim yang setiap hari bekerja menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan alat bukti serta fakta, justru ikut menyebarkan berita yang belum tentu benar, ini adalah tamparan serius bagi etika profesi. 

Bukankah hakim adalah figur yang harus menjunjung tinggi nilai-nilai kehati-hatian, objektivitas, dan integritas? Ketika prinsip-prinsip itu ditanggalkan hanya karena tergoda untuk share sesuatu yang viral, maka kita menghadapi masalah yang jauh lebih dalam dari sekadar kesalahan teknis: ini soal krisis kesadaran peran.

Dalam masyarakat yang masih rendah literasi digitalnya, suara seorang hakim tentu tidak sama dengan suara orang biasa. Apa yang diucapkan atau dibagikan oleh seorang hakim—baik secara langsung maupun di media sosial—mudah dianggap benar, atau setidaknya layak dipercaya. 

Di sinilah letak bahayanya. Informasi yang salah, jika keluar dari mulut orang terdidik, bisa lebih mudah dipercaya dan jauh lebih berpengaruh.

Berkaca pada Insiden di Inggris

Untuk melihat seberapa besar dampak hoaks dalam kehidupan sosial, kita bisa menengok contoh di Uni Eropa. Pada 2016, menjelang referendum Brexit di Inggris, sebuah klaim bohong yang sangat viral menyebut bahwa Inggris mengirim dana sebesar 350 juta pound sterling per minggu ke Uni Eropa, yang seandainya keluar dari UE, bisa dialihkan ke layanan kesehatan nasional (NHS). 

Klaim tersebut terbukti tidak benar dan telah dibantah oleh banyak ekonom serta pejabat independen. 

Namun karena disebarkan oleh politisi dan tokoh publik, hoaks ini sangat memengaruhi opini publik dan dianggap sebagai salah satu pemicu utama keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa. 

Hingga hari ini, Inggris masih menghadapi konsekuensi besar dari keputusan itu—baik ekonomi, politik, maupun sosial.

Contoh di atas menunjukkan bahwa informasi yang menyesatkan, bila keluar dari mulut orang terdidik atau tokoh publik, bisa memiliki dampak sistemik yang luas. 

Maka bayangkan jika seorang hakim, yang seharusnya menjadi penjaga nalar dan keadilan, malah ikut menyebarkan informasi serupa, betapa serius dampaknya bagi masyarakat.

Seorang hakim bukan hanya penegak hukum di ruang sidang, tetapi juga panutan di ruang publik. Maka, tanggung jawab moral seorang hakim tak berakhir saat sidang ditutup atau palu diketuk. 

Di era digital ini, tanggung jawab itu justru meluas hingga ke ruang-ruang virtual, di mana setiap kata, komentar, atau unggahan bisa berdampak luas.

Hakim perlu lebih selektif dalam bermedia sosial. Tak sekadar menjaga etika profesi, tapi juga ikut bertanggung jawab terhadap maraknya kegaduhan akibat penyebaran hoaks. Masyarakat membutuhkan contoh, dan hakim selayaknya hadir sebagai teladan — bukan justru bagian dari masalah.

Alih-alih menjadi penyebar, hakim semestinya menjadi penangkal. Di tengah badai informasi palsu yang makin sering menerjang ruang publik, hakim mesti berdiri sebagai penjaga nalar kritis. 

Meskipun hanya satu unggahan, namun dari seorang hakim, dampaknya bisa berlipat. Maka, jangan sampai jemari yang biasa menulis keadilan itu berubah menjadi alat penyebar kekacauan.

Sebagai penutup, mari kita refleksikan satu hal: keadilan tak hanya dibangun di ruang sidang. Ia juga dibangun melalui tanggung jawab moral di ruang sosial—baik nyata maupun digital. Dan di sana, seorang hakim tetaplah hakim.