Setiap manusia ingin terlahir dalam kondisi sempurna, akan tetapi takdir Illahi berkata lain. Seseorang bisa saja terlahir dengan kondisi fisik tidak sempurna atau mengalami insiden kecelakaan sehingga mengakibatkan kondisi fisiknya tidak sempurna.
Namun, memiliki kondisi fisik yang sempurna atau tidak, sebagai manusia harus kita syukuri, karena Tuhan menciptakan kita dalam kondisi sebaik-baiknya.
Menjadi penyandang disabilitas (difabel) tidaklah mudah. Dalam kehidupan sehari-hari, pandangan sebelah mata dari masyarakat bahkan dianggap tidak ada sering dialami penyandang disabilitas.
Namun dengan kekurangan tersebut tidak menjadikan seorang difabel tidak memiliki kelebihan. Banyak contoh sukses difabel yang mencatatkan prestasi.
Kita bisa mengambil contoh Presiden ke-4 Republik Indonesia, yakni Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus dur. Ia memiliki keterbatasan dalam penglihatan (tuna netra) namun dapat menjadi orang nomor 1 di Indonesia pada saat itu.
Difabel Sebagai Subjek Hukum
Penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia harus ditempatkan pada tempat tertinggi, tidak terkecuali pada penyandang disabilitas.
Dalam konstitusi, kedudukan penyandang disabilitas telah ditegaskan dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Hal tersebut menegaskan bahwa tidak ada perbedaan perlakuan terhadap siapapun termasuk penyandang disabilitas. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
Persamaan kedudukan dalam hukum tersebut membuat penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan legal capacity yaitu sebagai subjek hukum untuk mendapat keadilan dan perlindungan hukum.
Konsekuensinya adalah seorang difabel dapat dituntut dan menuntut secara setara dengan subjek hukum lain ketika dalam persidangan.
Kedudukan Difabel Dalam KUHAP Baru
Pada KUHAP lama, keterangan seorang saksi yang memiliki disabilitas hanya dianggap sebatas petunjuk saja, karena pada saat memberikan keterangan, para saksi difabel memberikan keterangan tanpa diambil sumpah terlebih dahulu sehingga pertanggungjawabannya tidak sempurna (Pasal 171 KUHAP).
Namun pada rancangan KUHAP baru disebutkan bahwa keterangan seorang saksi yang merupakan penyandang disabilitas mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan saksi dan/atau korban yang bukan penyandang disabilitas (Pasal 236 RKUHAP).
Hal ini menandakan bahwa telah terjadi perubahan pada sistem peradilan pidana di Indonesia, yaitu dengan mengakui kedudukan seorang saksi difabel. Diharapkan ada kesadaran untuk menghargai suara para difabel yang selama ini tak terdengar dan memastikan bahwa setiap korban, tanpa memandang keterbatasan fisiknya, memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh keadilan.
Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa definisi arti Pasal 1 Angka 26 dan 27 KUHAP adalah sebagai berikut “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar, ia lihat dan alami sendiri.”
Selama keterangan saksi tersebut memiliki relevansi dengan perkara maka keterangan tersebut disamakan kekuatan pembuktiannya dengan alat bukti lain.
Namun persoalan yang terjadi adalah belum ada keseragaman peraturan sehingga penting untuk dilakukan harmonisasi seluruh peraturan yang terkait dengan para penyandang disabilitas melalui sinergi antara stakeholder terkait.
Hal ini untuk memastikan bahwa Indonesia memberi perhatian penuh terhadap penyandang disabilitas dalam proses pembangunan dan pengembangan hukum yang berkeadilan.
Kesimpulan
Dengan demikian, hakim tidak sebatas menjadi pendengar namun berperan untuk memastikan bahwa saksi difabel memiliki hak yang setara, tanpa hambatan, dan menjamin hak mereka untuk menyampaikan kebenaran yang mereka ketahui.
Meskipun memiliki keterbatasan, kaum difabel berhak dan wajib untuk mendapatkan pelayanan yang sama seperti masyarakat pada umumnya.




