Mediasi adalah langkah wajib dalam proses perkara perdata di pengadilan Indonesia, sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 (PERMA 1/2016).
Tujuannya adalah memotivasi penyelesaian sengketa melalui kesepakatan damai. Dalam praktiknya, proses mediasi tidak selalu berujung pada hasil yang diharapkan, yang menimbulkan tiga istilah penting yang sering ambigu: mediasi berhasil, mediasi tidak berhasil, dan mediasi tidak dapat dilaksanakan.
Meskipun sekilas mirip, dua kondisi negatif mediasi tidak berhasil dan tidak dapat dilaksanakan memiliki konsekuensi hukum dan penyebab yang sangat berbeda berdasarkan PERMA 1/2016.
Pemahaman yang akurat terhadap perbedaan ini krusial untuk dimiliki bagi para pihak, mediator, dan hakim.
Mediasi yang Tidak Berhasil: Kegagalan Mencapai Kesepakatan
Mediasi dinyatakan tidak berhasil (unsuccessful), jika proses mediasi telah dilakukan sesuai prosedur dan jangka waktu yang ditentukan oleh PERMA 1/2016, namun para pihak gagal mencapai kesepakatan perdamaian.
Mediasi yang dinyatakan tidak berhasil tersebut, disebabkan adanya kegagalan mencapai hasil. Hal ini terjadi karena alasan-alasan yang bersifat substansial dan volunter (kehendak bebas) antara lain:
- Perbedaan Prinsip yang Tidak Terjembatani: Para pihak memiliki pandangan atau tuntutan yang bertentangan dan tidak ada titik temu, meskipun telah bernegosiasi secara intensif (Pasal 27 ayat (1) huruf a).
- Penarikan Diri Salah Satu Pihak: Salah satu pihak, secara sepihak, menarik diri dari proses mediasi sebelum jangka waktu berakhir (Pasal 27 ayat (1) huruf c). Hal ini menunjukkan hilangnya kemauan untuk berdamai.
- Tidak Mencapai Kesepakatan dalam Jangka Waktu: Setelah diperpanjang, waktu mediasi (maksimum 49 hari kalender) habis, tetapi belum ada hasil kesepakatan (Pasal 27 ayat 1 huruf d).
Konsekuensi hukum apabila mediasi dinyatakan tidak berhasil, maka Hakim wajib melanjutkan pemeriksaan pokok perkara di persidangan.
Kesepakatan yang dicapai sebagian, tidak menghentikan proses perdata, melainkan hanya menjadi pertimbangan dalam putusan.
Mediasi yang Tidak Dapat Dilaksanakan: Kegagalan Prosedural
Mediasi dinyatakan tidak dapat dilaksanakan (infeasible) bila terdapat rintangan prosedural atau administratif yang membuat proses mediasi itu sendiri tidak mungkin dilakukan.
Situasi ini terjadi bahkan sebelum substansi sengketa sempat dibahas secara mendalam.
Berkaitan dengan penyebab mediasi tidak dapat dilaksanakan tersebut, PERMA 1/2016 secara eksplisit telah mengatur alasan‑alasan yang menjadikan mediasi tidak dapat dilaksanakan, yang bersifat non‑volunter (di luar kehendak untuk bernegosiasi) sebagai berikut:
- Ketidakhadiran Pihak: Pihak Tergugat atau Penggugat yang diwajibkan hadir tidak hadir dalam pertemuan mediasi pertama tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara patut sebanyak dua kali (Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (1)).
- Ketidakmampuan Bertindak: Pihak yang hadir tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan (misalnya, kuasa hukum tanpa surat kuasa khusus untuk berdamai), atau pihak yang bersangkutan dinyatakan tidak cakap hukum (Pasal 6 ayat (2)).
- Perkara yang termasuk dalam pengecualian terhadap mediasi: Perkara tersebut dikecualikan dari kewajiban mediasi (misalnya, permohonan keberatan putusan BPSK, sengketa HAKI, atau perkara yang diselesaikan melalui prosedur e-Court tanpa persetujuan para pihak).
Adapun konsekuensi hukum apabila mediasi dinyatakan tidak dapat dilaksanakan karena ketidakhadiran Tergugat yang sah, maka gugatan Penggugat dapat diputus dengan verstek (putusan tanpa kehadiran Tergugat).
Sebaliknya, jika ketidakhadiran disebabkan oleh Penggugat, gugatan dapat dinyatakan gugur (Pasal 7 ayat (2) dan (3)).
Konsekuensi ini, jauh lebih berat daripada sekadar mediasi tidak berhasil, karena ada sanksi prosedural yang dikenakan akibat ketidakpatuhan terhadap kewajiban kehadiran.
Perbedaan Krusial: Fokus dan Sanksi
Inti perbedaan antara mediasi tidak berhasil dan tidak dapat dilaksanakan terletak pada fokus kegagalannya serta sanksi yang mengikutinya.
Pada mediasi tidak berhasil, berfokus pada substansi sengketa, yakni para pihak telah berusaha, tetapi secara substansial gagal mencapai kesepakatan. Konsekuensi yang ditimbulkan adalah kelanjutan pemeriksaan perkara.
Sedangkan pada mediasi yang tidak dapat dilaksanakan, berfokus pada prosedur mediasi.
Hal ini, mediasi gagal dimulai atau dilanjutkan karena alasan administratif/prosedural, terutama ketidakhadiran. Konsekuensinya adalah sanksi yang lebih berat, yaitu putusan verstek atau gugatan gugur.
Oleh karena itu, bagi para pihak yang berperkara, penting untuk memastikan setidaknya mediasi dapat dilaksanakan dengan hadir secara patut dan beritikad baik, demi menghindari risiko gugurnya gugatan atau dijatuhkannya putusan verstek berdasarkan PERMA 1/2016.