MARINews, Tanjung Jabung Timur – Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Jabung Timur menggelar sidang putusan sela terkait dugaan penadahan buah kelapa sawit oleh Terdakwa Teguh Subakti bin Subandi, yang diduga membeli buah kelapa sawit milik PT MYJ, yang sebelumnya diyakini telah digelapkan oleh salah satu karyawannya.
Sidang kali ini diwarnai dengan suatu kebiasaan yang tidak lazim, di mana Penasihat Hukum Terdakwa, Abdulah Ihsan, mengakhiri keberatannya dengan sebuah puisi, sementara Penuntut Umum, M. Fariz Fadilah Januarizky, menyampaikan pendapatnya dalam gaya bahasa yang memadukan unsur puitis dengan bahasa formal.
Tak ketinggalan. Majelis Hakim, yang diketuai oleh Yessika Florencia dan beranggotakan Christopher Hutapea serta Putri Valentin Tamara dengan dibantu oleh Gustireza Nasfialesta sebagai Panitera Sidang, turut mencukupkan pertimbangan hukumnya dengan sepenggal puisi.
Pada sidang sebelumnya pada 23 Oktober 2025, Penasihat Hukum Terdakwa menutup keberatannya dengan puisi berjudul “Hukum yang Membisu”, yang esensinya menekankan bahwa tuduhan terhadap Terdakwa belum terbukti secara nyata, sehingga hukum seharusnya menegakkan keadilan berdasarkan perbuatan yang nyata, bukan sekadar niat yang belum terjadi.
“Aku melihat seorang manusia berdiri di depan majelis, tangannya gemetar bukan karena dosa, melainkan karena tuduhan yang belum nyata. Katanya ia menadah barang curian, padahal barang itu pun tak pernah ada. Namun niat yang tak terwujud disulap menjadi pasal, menjadi jerat, menjadi palu. Hukum, engkau mestinya tajam untuk yang nyata, bukan untuk bayang-bayang niat yang bahkan belum sempat bernafas. Apakah keadilan kini tinggal kata di papan nama? Apakah pasal lahir untuk menghukum angin? Aku bertanya, namun jawabnya hening, terkubur di bawah toga dan tanda tangan. Jika niat tanpa perbuatan telah kau sebut kejahatan, maka setiap pikiran pun bisa kau penjarakan. Hukum, di mana pasal 1 ayat 1 menjadi saksi bisu: ‘tiada pidana tanpa perbuatan’, namun di sini, perbuatan tak ada pidana tetap ada. Maka aku di sini bukan untuk menggugat hakim, tapi mengingatkan nurani. Keadilan sejati tidak lahir dari tafsir tergesa, tetapi dari jernih suara kebenaran manusia merdeka,” pungkas Penasihat Hukum Terdakwa saat membaca penutup dari keberatannya.
Penuntut Umum, dalam sidang sebelumnya pada 30 Oktober 2025, juga menyampaikan pendapatnya menggunakan gaya bahasa yang mengalir, dengan ritme dan irama yang mengingatkan pada puisi, meskipun pada dasarnya ini adalah argumentasi hukum formal.
Ia menekankan Terdakwa berperan sebagai penadah, yang merupakan perpanjangan tangan pencuri, sehingga keberadaannya sangat krusial dalam tindak pidana penadahan.
“Berdasarkan pepatah hukum ‘Sine receptore, fur non asset - tanpa penadah, pencuri tidak akan ada’, melepaskan Terdakwa berarti menumbuhsuburkan kejahatan, sementara menghukumnya sama artinya dengan mencegah kejahatan berulang. Menjatuhkan hukuman pada pelaku kejahatan mungkin tampak keras, namun sebagaimana pepatah hukum menyatakan ‘Qui Male agit, odit lucem’, barang siapa berbuat jahat, ia benci pada terang kebenaran, sehingga pengingkaran Terdakwa atas perbuatannya tidak bisa dipercaya begitu saja,” ujar Penuntut Umum saat membaca penutup dari pendapatnya.
Berlanjut pada sidang putusan sela, hari pada Kamis, 6 November 2025, Majelis Hakim turut mencukupkan pertimbangan hukumnya dengan sepenggal puisi yang diberi judul “Di antara Pasal dan Nurani”, yang menekankan keseimbangan antara kepastian hukum dan rasa keadilan:
“Di hadapan hukum, kata menjelma menjadi senjata; nurani berbicara, logika menimbang makna. Benar kata pembela, keadilan bukan sekadar tinta, namun benar pula suara penuntut yang menjaga tata. Pasal bukan merupakan batu, tapi pijakan kita bersama; nurani bukanlah angin, tapi arah dari jiwa. Yang satu menyeru pada rasa kemanusiaan, yang lain mengingatkan tentang tertib dan peraturan. Maka biarlah hukum menempuh jalannya, pembuktian kelak jadi cermin kebenarannya. Hari ini, keberatan taklah gugur maknanya, karena sebagian ditunda jawabnya di ruang fakta. Sebab, keadilan tak lahir dari prasangka, melainkan dari terangnya bukti dan kejujuran fakta,” tegas Hakim Anggota saat membaca pertimbangan akhir dari putusan sela, seraya mengisyaratkan bahwa pemeriksaan akan dilanjutkan dalam tahap pembuktian.
Putusan sela ini pada pokoknya menyatakan bahwa keberatan Penasihat Hukum Terdakwa terhadap surat dakwaan Penuntut Umum tidak diterima.
Sementara itu, hal-hal lain yang disampaikan dalam keberatan, yang tidak termasuk dalam pokok keberatan sebagaimana diatur oleh undang-undang, akan tetap dilanjutkan pemeriksaannya pada tahap pembuktian.
Penggunaan puisi oleh Majelis Hakim dalam konteks ini menegaskan bahwa hukum tidak hanya ditegakkan melalui pasal dan logika, tetapi juga dihidupkan melalui nurani dan kebijaksanaan yang dianugerahkan kepada manusia.
Secara esensial, puisi-puisi dalam sidang ini mencerminkan bahwa hukum dapat disampaikan secara reflektif, mengingatkan semua pihak bahwa penegakan keadilan memerlukan keseimbangan antara kepastian hukum, etika, dan kesadaran nurani manusia.





