Pembuktian Pembunuhan Disebabkan Kerasukan di Amerika - Studi Kasus Connecticut v. Johnson (1983)

Perkara ini semakin menarik perhatian publik setelah diadaptasi menjadi film The Conjuring 3: The Devil Made Me Do It dan dokumenter Netflix
Poster film The Conjuring 3 yang terinspirasi dari kasus Connecticut v Johnson. Foto : Wikipedia
Poster film The Conjuring 3 yang terinspirasi dari kasus Connecticut v Johnson. Foto : Wikipedia

Perkara pembunuhan yang dilakukan Arne Cheyenne Johnson pada tahun 1981 di Connecticut menjadi fenomena hukum yang unik dalam sejarah peradilan Amerika Serikat, karena menjadi satu-satunya perkara di mana alasan hukum "kerasukan setan" diajukan dalam persidangan pembunuhan. 

Perkara ini semakin menarik perhatian publik setelah diadaptasi menjadi film The Conjuring 3: The Devil Made Me Do It dan dokumenter Netflix berjudul Devil on Trial, yang mengangkat kembali perdebatan tentang batas-batas pembelaan hukum dalam konteks kepercayaan mistis.

Duduk Perkara

Pada 16 Februari 1981, Johnson yang berusia 19 tahun menusuk pemilik rumah kontrakannya hingga tewas setelah terlibat pertengkaran. 

Akan tetapi, ternyata latar belakang perkara ini jauh lebih kompleks. Johnson tinggal bersama tunangannya, Debbie Glatzel, dimana adiknya, David, mengakui bahwa ia sempat dirasuki setan. 

Johnson disebutkan menyaksikan David sampai terbang, menyebutkan nama 42 setan dalam bahasa Latin, dan menunjukkan kekuatan fisik yang tidak masuk akal. 

Dengan maksud melindungi David, Johnson meminta setan tersebut agar pindah ke tubuhnya, yang kemudian memicu perilaku aneh dari Johnson seperti merusak perabotan rumah tangga hingga tidak cedera setelah terjatuh dari ketinggian 30 meter.

Pengacara Johnson, Martin Minnella, mengajukan pembelaan "tidak bersalah karena kerasukan setan," dengan argumen bahwa Johnson tidak memiliki niat untuk membunuh karena tubuhnya dikuasai oleh kekuatan mistis. Johnson mengklaim sama sekali tidak ingat peristiwa penusukan tersebut.

Pertimbangan Hukum Hakim

Hakim Robert Callahan dari Pengadilan Negeri Connecticut menolak pembelaan kerasukan setan dengan tegas. Callahan menyatakan bahwa "bukti kerasukan setan sama sekali tidak relevan" dalam persidangan. 

Ketika Minnella berencana memanggil pastor Katolik sebagai saksi ahli, mengingat doktrin Katolik mengakui kerasukan sebagai fenomena nyata—hakim menilai hal tersebut sebagai "bukti yang tidak kompeten."

Keputusan Hakim Callahan ini didasari kekhawatiran bahwa mengizinkan pembelaan semacam ini akan menciptakan preseden berbahaya bagi sistem peradilan Amerika. 

Para yuris dan pengamat hukum mengapresiasi keputusan Hakim tersebut dan menekankan bahwa diterimanya alasan hukum tersebut dapat melumpuhkan penegakan hukum karena dapat disalahgunakan oleh pelaku kejahatan lain.

Secara hukum, tidak ada ketentuan dalam hukum Amerika Serikat yang mengatur mengenai kerasukan setan sebagai pembelaan untuk kejahatan apapun. Faktanya, pembelaan dengan alasan hukum semacam ini justru sering digunakan untuk membuktikan gangguan jiwa. 

Johnson akhirnya divonis bersalah atas tuduhan pembunuhan dan dipidana penjara selama 20 tahun penjara.

Dalam konteks hukum Indonesia, kasus ini menarik dikaitkan dengan Pasal 184 KUHAP yang mengatur tentang alat bukti yang sah. Pasal ini menetapkan lima alat bukti: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. 

Pembelaan kerasukan setan dalam kasus Johnson akan menghadapi tantangan serupa dalam sistem hukum Indonesia, karena tidak ada mekanisme hukum yang dapat memverifikasi atau memvalidasi alasan mistis sebagai alat bukti yang sah.

Kasus Connecticut v. Johnson (1981) menunjukkan betapa kompleksnya irisan antara kepercayaan dengan sistem peradilan modern. Meskipun banyak masyarakat yang percaya pada fenomena supernatural, sistem hukum memerlukan standar pembuktian yang terukur secara objektif. 

Penolakan hakim terhadap pembelaan ini bukan karena menolak kepercayaan, tetapi untuk menjaga integritas sistem peradilan yang harus berdasarkan bukti empiris dan rasional.