Peradilan di Indonesia memiliki cita-cita luhur sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu diselenggarakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Visi besar ini bukan sekadar slogan, tetapi menjadi mandat konstitusional yang diharapkan mampu memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Namun, realita di lapangan seringkali menghadirkan tantangan. Proses peradilan yang berbelit, jadwal sidang yang mundur, hingga biaya tidak resmi masih menjadi keluhan sebagian pencari keadilan.
Di sinilah letak ujian bagi peradilan kita: bagaimana cita-cita luhur hukum dapat benar-benar diwujudkan dalam praktik sehari-hari.
Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi telah berupaya menjawab tantangan ini dengan berbagai terobosan. Salah satunya melalui digitalisasi layanan peradilan seperti e-Court dan e-Litigasi, yang memungkinkan masyarakat mengajukan gugatan, membayar biaya perkara, hingga mengikuti persidangan secara daring.
Langkah ini diharapkan mampu memangkas waktu, mengurangi biaya, dan meminimalisasi praktik yang tidak sesuai aturan.
Selain itu, hakim sebagai ujung tombak peradilan juga memegang peranan penting. Mereka dituntut untuk mampu mengelola perkara dengan efektif, menjaga integritas, dan tidak terjebak pada birokrasi yang berbelit.
Peran aktif hakim dalam mewujudkan asas peradilan sederhana menjadi bagian dari tanggung jawab moral sekaligus tugas konstitusional.
Meski begitu, mewujudkan peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan tetap bukan perkara mudah. Diperlukan sinergi antara pemerintah, aparat peradilan, advokat, dan masyarakat agar sistem peradilan kita benar-benar menjadi sarana pencari keadilan yang ideal.
Harapan ke depan, Mahkamah Agung terus memperkuat inovasi layanan, menegakkan disiplin aparat, dan menjaga konsistensi dalam setiap putusan.
Dengan demikian, asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan tidak lagi menjadi sekadar mimpi, tetapi realita yang bisa dirasakan oleh setiap warga negara.