Pengadilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan memikul beban moral dan institusional untuk menjaga integritas hukum di Indonesia.
Namun, kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan masih kerap diguncang oleh persoalan konflik kepentingan yang merusak objektivitas dan imparsialitas.
Konflik ini muncul dalam berbagai wajah, mulai dari pengawasan internal yang lemah, intervensi pihak luar, hingga keterikatan kepentingan pribadi pejabat pengadilan.
Dampak yang ditimbulkan tidak main-main: rusaknya kepercayaan masyarakat, keputusan yang tidak objektif, reputasi yang tercoreng, hingga runtuhnya integritas lembaga.
Data dan pengalaman menunjukkan bahwa ketika publik mulai meragukan keadilan pengadilan, efek domino akan merambat ke aspek lain, termasuk legitimasi negara di mata rakyat.
Reformasi Birokrasi Bersih: Jalan yang Tidak Mudah
Upaya reformasi birokrasi bersih sejatinya telah dicanangkan. Regulasi terbaru seperti Peraturan Menteri PANRB Nomor 17 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Konflik Kepentingan hadir sebagai payung hukum yang lebih komprehensif.
Bahkan, Mahkamah Agung mempertegas komitmennya melalui SK KMA Nomor 15/KMA/SK.HK2/II/2025 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Konflik Kepentingan dalam Penyelesaian Perkara. Dokumen ini seharusnya menjadi rujukan standar di seluruh satuan kerja MA.
Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan. Sumber daya manusia yang terbatas, budaya birokrasi yang resisten terhadap perubahan, serta masih adanya intervensi eksternal membuat pengadilan rawan terjebak dalam lingkaran konflik kepentingan.
Rotasi sebagai Strategi Pencegahan
Dalam menghadapi tantangan tersebut, rotasi atau mutasi pejabat dan hakim menjadi salah satu strategi yang urgen untuk dijalankan secara konsisten. Rotasi bukan sekadar perpindahan administrasi, melainkan instrumen pencegahan yang efektif.
1. Mengurangi Risiko Konflik Kepentingan
Hakim atau pejabat yang terlalu lama berada di satu posisi rentan menjalin relasi yang berpotensi memengaruhi independensi. Dengan rotasi, potensi keterikatan personal dapat diminimalisir.
2. Meningkatkan Objektivitas
Mutasi memastikan bahwa penanganan perkara tidak dipengaruhi kepentingan pribadi atau hubungan yang sudah terjalin di lingkungan lama.
3. Mencegah KKN
Rotasi menutup ruang munculnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sering berakar dari kedekatan antara aparat pengadilan dan pihak-pihak tertentu.
4. Meningkatkan Akuntabilitas
Dengan adanya mekanisme rotasi yang transparan, setiap hakim atau pejabat akan lebih berhati-hati dalam menjalankan kewenangan karena tahu bahwa posisi mereka tidak bersifat permanen.
Studi Kasus dan Gambaran Nyata
Sejarah mencatat, kasus-kasus yang menyeret aparat peradilan kerap muncul di daerah di mana pejabat pengadilan sudah terlalu lama menjabat tanpa rotasi.
Misalnya, dalam beberapa laporan investigasi lembaga pemantau peradilan, ditemukan adanya praktik “hakim langganan” dalam kasus tertentu, yang menimbulkan kecurigaan publik.
Ketika rotasi dilakukan, pola hubungan informal tersebut perlahan terputus, dan kepercayaan masyarakat mulai tumbuh kembali.
Peran Ketua Pengadilan
Di tengah kompleksitas ini, peran Ketua Pengadilan menjadi kunci. Ketua bukan hanya berfungsi sebagai administrator, tetapi juga penjaga independensi lembaga.
Identifikasi konflik kepentingan, pengambilan keputusan objektif, pengembangan kebijakan internal, hingga penerapan tindakan disipliner harus dijalankan dengan tegas.
Transparansi dalam penanganan perkara harus diperkuat, agar pengadilan tidak sekadar “terlihat bersih”, melainkan benar-benar bebas dari praktik tidak etis.
Kesimpulan
Reformasi birokrasi bersih di pengadilan adalah kebutuhan mendesak, bukan sekadar wacana normatif. Rotasi dan mutasi merupakan instrumen vital untuk menutup celah konflik kepentingan, memperkuat objektivitas, dan menjaga integritas pengadilan.
Implementasi SK KMA Nomor 15/KMA/SK.HK2/II/2025 harus diinternalisasi dalam seluruh satuan kerja Mahkamah Agung, bukan hanya sebagai dokumen administratif, melainkan pedoman etika yang dijalankan secara konsisten.
Hanya dengan komitmen yang kuat, budaya transparansi, serta pelaksanaan rotasi berkelanjutan, pengadilan dapat meraih kembali kepercayaan publik.
Sebab, keadilan yang bersih tidak hanya ditentukan oleh isi putusan, tetapi juga oleh proses yang bebas dari konflik kepentingan.