Masih banyak kita temui dalam praktik proses hukum positif adanya restorative justice atau RJ. Penerapan RJ di setiap institusi, baik kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan, memiliki perbedaan. Perbedaan ini diakibatkan oleh cara penerapan hukum.
Langkah yang cukup berani adalah adanya perkara narkoba yang menerapkan RJ. Tentunya hal ini tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. Di samping itu, juga harus melihat rasa keadilan di tengah masyarakat. Aparat penegak hukum perlu memiliki kepedulian dengan aturan main saat menerapkan RJ.
RJ merupakan salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara pidana. RJ melibatkan pemangku kebijakan, seperti tokoh adat, masyarakat, dan pemuka agama. Tujuannya untuk mewujudkan penyelesaian yang adil melalui perdamaian. Ada aturan yang perlu dicermati dalam Pasal 1 huruf 3 Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021.
Dalam pelaksanaan RJ, pelaku memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi), masyarakat berperan menjaga perdamaian, dan pengadilan berperan memastikan ketertiban umum.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, dijelaskan bahwa peraturan ini masih relevan untuk dilaksanakan.
Beberapa data menyebutkan RJ mengalami kegagalan. Pihak korban maupun pelaku masih menyimpan dendam pasca pelaksanaan RJ. Penyebabnya jelas, yaitu tidak adanya rasa keadilan yang dirasakan korban atau keluarganya. Maka, apa sebenarnya yang bisa diharapkan dari RJ?
Sebagai contoh, kasus anak korban kekerasan seksual menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Jika pelakunya juga anak, sering ada upaya damai di tingkat kepolisian. Namun, ketika korban tidak bersedia, hal ini menimbulkan krisis kepercayaan publik. Meski kasus anak memang bisa diselesaikan melalui RJ, penerapannya harus sangat hati-hati.
RJ tidak hanya menjawab tantangan bagaimana hukum harus dinamis, tidak sekadar berkutat pada aturan tertulis seperti UU, KUH Perdata, KUHP, dan peraturan lainnya. Terobosan ini seharusnya menjadi langkah awal reformasi pengadilan menuju akuntabilitas, integritas, dan keadilan.
Pertanyaannya, apakah RJ masih diperlukan saat ini? Pertama, RJ masih perlu jika melihat intensitas perkara di pengadilan tingkat pertama yang meningkat tiap tahun, terutama perkara pidana. Namun, ada juga yang menyatakan RJ tidak perlu lagi karena dinilai tidak memberikan efek jera bagi pelaku atau pihak yang terlibat.
Alasan “tidak memberikan efek jera” memang menjadi perdebatan. Langkah RJ di Indonesia belum sepenuhnya berjalan maksimal. Terlebih dengan adanya tekanan publik, hukuman sering dianggap harus ditegakkan walaupun langit runtuh. Publik berhak tahu, apa sebenarnya manfaat RJ selama ini diterapkan?
Maka, penegak hukum juga harus menyadari kepentingan publik di atas segalanya. Publik memiliki perhatian di setiap tahapan proses perkara, baik di kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Publik tentu punya posisi kritis, dan hal ini bisa menjadi bom waktu bila suara mereka diabaikan.
RJ juga berperan penting dalam mengubah tatanan kehidupan bermasyarakat, terutama dalam membangun kesadaran hukum. Saat ini banyak terobosan dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat agar lebih taat hukum. Penerapan RJ hanyalah bagian kecil dari upaya membangun kesadaran hukum bagi masyarakat.