Dulu, banyak penyandang disabilitas merasa ruang sidang bukanlah tempat yang ramah bagi mereka. Tak sedikit yang kesulitan mengakses informasi, memahami jalannya proses hukum, atau bahkan merasa tidak memiliki tempat untuk bersuara.
Ruang sidang yang megah sering kali terasa asing, terlebih ketika bahasa hukum yang digunakan kaku dan membingungkan. Kini, harapan itu mulai menemukan jalannya.
Mahkamah Agung Republik Indonesia mengambil langkah penting melalui diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pedoman Mengadili Perkara bagi Penyandang Disabilitas.
Aturan ini tidak hanya sebatas regulasi administratif, melainkan simbol nyata dari tekad lembaga peradilan untuk merangkul semua elemen masyarakat tanpa terkecuali.
Perma ini hadir dengan semangat menjamin kesetaraan, nondiskriminasi, dan akomodasi yang layak bagi setiap individu yang berhadapan dengan hukum.
Baik sebagai terdakwa, saksi, korban, maupun pihak lainnya, penyandang disabilitas berhak memperoleh layanan dan perlakuan yang setara. Hak untuk menggunakan bahasa isyarat, teknologi bantu, pendamping pribadi, serta penyesuaian tata cara persidangan dijamin dalam peraturan ini.
Hakim serta aparat peradilan lainnya diberikan pedoman teknis agar tidak hanya memahami, tetapi juga menerapkan prinsip keadilan inklusif.
Hal ini meliputi pelatihan tentang ragam disabilitas, kemampuan komunikasi adaptif, serta empati dalam menangani perkara yang melibatkan individu dengan kebutuhan khusus.
Tak hanya soal teknis, Perma ini membuka jalan bagi pengadilan untuk menjadi lebih manusiawi.
Pengadilan dapat menyesuaikan tempat dan waktu sidang, menggunakan media alternatif, serta menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi penyandang disabilitas.
Namun demikian, implementasi nyata dari Perma ini sangat bergantung pada sinergi seluruh pemangku kepentingan. Dibutuhkan sosialisasi yang masif, pembaruan infrastruktur, hingga keterlibatan komunitas disabilitas dalam proses evaluasi kebijakan.
Ke depan, kita berharap Mahkamah Agung terus menjadi pelopor dalam mewujudkan keadilan yang inklusif.
Karena sejatinya, hukum tidak hanya mengatur yang kuat dan lantang bersuara, tapi juga melindungi mereka yang selama ini terpinggirkan dalam senyap. Itulah makna keadilan yang sesungguhnya.



