Proses eksekusi, baik yang didasarkan pada putusan pengadilan (eksekusi riil, lelang, dsb.) maupun eksekusi parate (seperti jaminan fidusia), merupakan tahapan krusial dalam penegakan hukum.
Tujuannya adalah memastikan putusan atau perjanjian hukum, yang berkekuatan tetap dapat direalisasikan. Dalam pelaksanaannya, proses ini hampir selalu melibatkan petugas keamanan, terutama Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), untuk menjamin keamanan dan ketertiban.
Namun, di lapangan, pengamanan eksekusi sering kali dihadapkan pada serangkaian permasalahan kompleks yang mengancam kelancaran proses dan kredibilitas aparat.
Permasalahan mendasar dalam pengamanan eksekusi adalah adanya resistensi sosial yang tinggi dari pihak tereksekusi.
Sengketa lahan, misalnya, kerap melibatkan masyarakat dengan ikatan emosional kuat terhadap objek yang dieksekusi. Penolakan ini diwujudkan melalui perlawanan fisik, pemblokiran akses, hingga pengerahan massa dan provokator.
Bagi aparat kepolisian, situasi ini menciptakan dilema etika dan profesionalisme. Di satu sisi, polisi wajib menjalankan tugasnya membantu juru sita pengadilan dalam menegakkan hukum.
Di sisi lain, mereka juga memiliki fungsi sebagai pengayom masyarakat, di mana tindakan tegas yang berlebihan dapat memicu konflik yang lebih besar dan berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Polisi harus bertindak dengan prinsip proporsionalitas, menimbang antara tingkat ancaman dengan kekuatan yang dilibatkan, sebuah batasan yang sangat tipis dan sulit diukur di tengah kekacauan lapangan. Kerap kali, kegagalan dalam menjaga batas ini berujung pada citra negatif dari publik terhadap institusi kepolisian.
Kendala Yuridis dan Keterbatasan Prosedural
Meskipun kepolisian memiliki dasar hukum untuk memberikan bantuan pengamanan, terutama pada eksekusi yang diperkirakan memiliki potensi konflik, ditemukan adanya kekurangan regulasi teknis yang spesifik.
Secara umum, keterlibatan polisi diatur melalui permohonan bantuan keamanan dari pemohon atau kreditur (khusus fidusia). Namun, panduan operasional di lapangan untuk jenis eksekusi di luar fidusia (misalnya eksekusi tanah berdasarkan putusan perdata) sering kali belum terperinci dalam Peraturan Kapolri (Perkap) yang komprehensif.
Ketiadaan pedoman yang rinci ini, dapat menyebabkan interpretasi yang berbeda-beda antar wilayah atau antar tingkatan operasional.
Selain itu, muncul perdebatan mengenai batas kewenangan kepolisian dalam ranah hukum perdata. Ketika polisi diminta terlibat dalam negosiasi atau mediasi di lokasi eksekusi, terkadang tindakan tersebut, dianggap melampaui kewenangan mereka sebagai penjamin keamanan dan justru memasuki wilayah substantif perkara perdata. Hal ini merusak citra netralitas polisi.
Tantangan Operasional dan Informasi Lapangan
Dari sisi operasional, pengamanan eksekusi memerlukan kesiapan logistik dan personel yang cukup signifikan. Tantangan utama meliputi:
- Intelijen dan Penilaian Risiko yang Lemah : Pelaksanaan yang berjalan lancar sangat bergantung pada data awal yang akurat mengenai kekuatan penolak, keberadaan provokator, dan potensi eskalasi konflik. Kegagalan dalam penilaian risiko awal, dapat menyebabkan kekurangan personel atau, sebaliknya, penempatan kekuatan yang berlebihan
- Perubahan Objek Eksekusi : Khususnya pada eksekusi tanah, sering terjadi perbedaan antara luas atau batas objek yang tercantum dalam amar putusan dengan fakta di lapangan. Perbedaan ini langsung dimanfaatkan oleh pihak tereksekusi, untuk melakukan perlawanan dan menyulitkan aparat dalam menetapkan batas pengamanan.
- Beban Biaya Pengamanan : Menurut ketentuan berlaku, biaya pengamanan eksekusi dibebankan kepada pihak pemohon eksekusi. Penghitungan dan ketersediaan dana ini, sering kali menjadi kendala yang memperlambat proses pengamanan, bahkan dapat membebani moral anggota, apabila eksekusi gagal walau telah dikerahkan biaya dan tenaga.
Meningkatkan Efektivitas Pengamanan
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan tindakan strategis dan terintegrasi. Perumusan Perkap yang lebih komprehensif untuk seluruh jenis eksekusi pengadilan perdata adalah sangat diperlukan.
Peraturan ini harus mengatur secara jelas tahap pra-eksekusi (termasuk perhitungan biaya pengamanan, validasi objek dan koordinasi), selama eksekusi (prinsip penggunaan kekuatan) dan pascaeksekusi.
Selain itu, peningkatan mutu intelijen pra-eksekusi dan kemampuan negosiasi bagi petugas di lapangan adalah kunci.
Penegak hukum harus didorong menekankan pendekatan persuasif dan humanis dalam menangani massa, menjadikan penggunaan kekuatan sebagai langkah terakhir (ultimum remedium).
Dengan demikian, pengamanan eksekusi tidak hanya menitikberatkan pada ketertiban formal, tetapi juga pada pencapaian tujuan hukum, dengan meminimalkan bentrokan sosial dan menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.