PN Sinabang Laksanakan Descente: Demi Temukan Kebenaran dan Tegakan Keadilan

Kebenaran itu sering kali tidak sepenuhnya dapat dibaca dari berkas perkara atau dokumen bukti yang dihadirkan di ruang sidang.
Ilustrasi pemeriksaan setempat. Foto: freepik
Ilustrasi pemeriksaan setempat. Foto: freepik

Dalam proses peradilan perdata, hakim tidak hanya dituntut menegakkan hukum secara formal, tetapi juga harus menemukan kebenaran materiil. 

Kebenaran itu sering kali tidak sepenuhnya dapat dibaca dari berkas perkara atau dokumen bukti yang dihadirkan di ruang sidang. 

Di sinilah pemeriksaan setempat atau descente, menjadi instrumen penting bagi hakim untuk menjejak langsung fakta lapangan dan memastikan keadilan yang dijatuhkan tidak hanya benar di atas kertas, tetapi juga sesuai dengan kenyataan.

Salah satu perkara perdata Gugatan Nomor 2/Pdt.G/2025/PN Snb di Pengadilan Negeri Sinabang menunjukkan relevansi nyata pentingnya pemeriksaan setempat (descente). 

Sengketa tersebut bermula dari perebutan hak atas sebidang tanah dan rumah yang masing-masing pihak klaim sebagai miliknya. 

Perselisihan tidak hanya berkisar pada siapa yang tercatat sebagai pemegang sertifikat, tetapi juga meluas hingga persoalan penguasaan fisik, batas-batas lahan, serta keabsahan penerbitan sertifikat itu sendiri. 

Pemeriksaan Setempat perkara Gugatan berlokasi di Desa Air Dingin, Kecamatan Simeulue Timur, Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh.

Pemeriksaan setempat tersebut, dipimpin oleh Majelis Muhammad Alqudri, S.H., M.H., (Ketua Majelis) dengan didampingi  Anton Nursaleh Siregar, S.H., dan Derry Yusuf Hendriana, S.H., (masing-masing Hakim Anggota)

Dasar hukum pemeriksaan setempat diatur dalam Pasal 153 Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Pasal 180 Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg), yang memberi wewenang kepada hakim untuk memeriksa barang atau objek sengketa di tempat. 

Ketentuan serupa juga diatur Pasal 211-214 Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) yang memberikan pedoman pelaksanaan pemeriksaan setempat oleh hakim, termasuk kewenangan untuk menghadirkan para pihak dan saksi di lokasi objek sengketa. 

Aturan tersebut, diperkuat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2001, yang menegaskan pentingnya descente terutama dalam perkara pertanahan, agar putusan pengadilan tidak bersifat non-executable. 

Sementara Pasal 1865–1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), menegaskan bahwa pembuktian jadi tanggung jawab pihak yang mengajukan hak, dan pemeriksaan setempat merupakan salah satu cara bagi hakim memastikan kebenaran dalil tersebut.

Pemeriksaan setempat, bukan hanya sekadar formalitas. Pemeriksaan setempat menjadi sarana pembuktian untuk menilai apakah dalil para pihak, uraian dalam sertifikat, keterangan saksi, dan bukti surat yang diajukan benar-benar sejalan dengan realitas yang ada di lapangan. 

Banyak perkara perdata, terutama sengketa tanah, berakhir dengan putusan yang tidak dapat dieksekusi, karena objeknya tidak jelas atau ternyata berbeda dari yang disebut dalam gugatan. 

Melalui pemeriksaan setempat (descente), risiko tersebut dapat dihindari, karena hakim memperoleh gambaran utuh tentang objek yang dipersengketakan.

Selain melaksanakan perintah aturan hukum yang mewajibkan pemeriksaan setempat, Majelis Hakim dalam perkara ini memandang pembuktian tertulis semata yang dihadirkan di ruang sidang tidak cukup untuk menggali kebenaran materiil. 

Masing-masing pihak memiliki dokumen dan argumentasi yang kuat secara formal, namun kebenaran sesungguhnya hanya bisa dipastikan dengan menapaki objek yang menjadi sumber sengketa. 

Dengan turun langsung ke lokasi yang dipersengketakan oleh para pihak, Majelis Hakim bukan hanya melihat fisik lahan dan bangunan, tetapi juga membaca jejak dari objek dimaksud, siapa yang menguasai, bagaimana penggunaannya, dan sejauh mana klaim para pihak memiliki dasar nyata.

Melalui data lapangan tersebut, hakim dapat menilai kesesuaian antara alat bukti dengan fakta yang ada di lapangan, dan pada akhirnya memperoleh keyakinan yang utuh sebelum menjatuhkan putusan. 

Namun demikian, pelaksanaan pemeriksaan setempat bukan tanpa kendala. Faktor teknis seperti keterbatasan anggaran, cuaca, kondisi geografis yang sulit dijangkau, hingga ketidakhadiran salah satu pihak kerap menjadi tantangan tersendiri. 

Terlepas dari segala tantangan tersebut, pemeriksaan setempat tetap menjadi salah satu wujud kehati-hatian yudisial (judicial prudence). 

Wujudnya memastikan bahwa hakim, tidak hanya menilai perkara dari ruang sidang, tetapi juga memahami realitas konkret yang melatarbelakanginya.

Dalam perkara perdata nomor 2/Pdt.G/2025/PN Snb, langkah majelis hakim melakukan descente menjadi penegasan bahwa proses mencari keadilan tidak berhenti dengan pembuktian di ruang sidang dan pemeriksaan setempat bukan sekadar pelengkap dalam proses pembuktian, melainkan cara penting bagi Hakim untuk memastikan putusan yang dijatuhkan, tidak hanya berlandaskan pada kebenaran formil, tetapi juga menggambarkan kebenaran materiil yang sebenarnya, sehingga putusan yang akan dijatuhkan Majelis Hakim menjadi utuh dan tidak menjadi putusan yang non-executable.