Rechterlijk Pardon: Gagasan dan Tantangan Instrumen Humanisme Hukum

Gagasan pemaafan hakim telah selaras dengan arah pembaruan hukum pidana Indonesia yang diusung dalam KUHP Nasional. Meski begitu, diperlukan regulasi yang terarah, terukur, dan konsisten untuk mengatur implementasi rechterlijk pardon secara tepat.
Ilustrasi putusan hakim. Foto freepik.com/
Ilustrasi putusan hakim. Foto freepik.com/

Pendahuluan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur tiga jenis putusan hakim, yakni putusan pemidanaan, putusan bebas (vrijspraak), dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging).

Putusan bebas dijatuhkan dalam hal hakim berpendapat sesuai hasil pembuktian, perbuatan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Sedangkan putusan lepas dijatuhkan, bilamana perbuatan terdakwa terbukti, namun bukan tindak pidana. 

Dalam praktik peradilan pidana, sering kali majelis hakim meyakini bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sesuai dakwaan. Namun, dalam beberapa kasus, pemberian pidana jangka pendek justru dinilai tidak membawa manfaat-baik bagi korban, masyarakat, maupun terdakwa itu sendiri. Alih-alih menghadirkan keadilan, vonis semacam ini malah dapat menimbulkan rasa ketidakadilan.

Sayangnya, dalam sistem hukum sebelumnya, hakim tidak memiliki banyak pilihan selain menjatuhkan salah satu dari tiga bentuk putusan yang tersedia. Tidak adanya ruang untuk mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan kemanfaatan secara menyeluruh menjadi salah satu kelemahan sistem hukum pidana yang berlaku.

Menjawab persoalan ini, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional kini menghadirkan terobosan melalui pengakuan terhadap bentuk putusan pemaafan hakim (rechterlijk pardon) atau judicial pardon. Mekanisme ini memberikan alternatif hukum bagi hakim untuk tidak menjatuhkan pidana, meskipun terdakwa dinyatakan bersalah, jika alasan kemanusiaan dan keadilan substantif lebih diutamakan.

Selayang Pandang Lembaga Pemaafan di Dunia

Secara historik hubungan antara pidana dengan pemaafan (pardon), telah termaktub sejak adanya Code of Hammurabi. Namun Code of Hammurabi hanya memuat norma mengenai adanya keseimbangan antara legalitas dengan keadilan di masyarakat. 

Lembaga pemaafan, secara praktik terdapat di masa kekaisaran Romawi dan kekaisaran Tiongkok di Asia, pada dekade kepemimpinan Dinasti Han. Pada era kekaisaran, lembaga pemaafan, sering digunakan raja untuk diberikan kepada pasukannya. Ini karena mereka dianggap berjasa pada masa perang, sehingga tentara diberikan imunitas, namun tidak disediakan aturan yang jelas.

Beberapa dekade berlalu, lembaga pemaafan berkembang di negara Eropa Barat, khususnya di Inggris pada masa King Charles II. Pemberian maaf diberikan kepada Danby, yang kala itu berstatus sebagai Perdana Menteri Inggris. 

Adapun kasus bermula, saat Danby hendak di impeach oleh House of Commons dan House of Lords, karena terbukti melakukan tindak pidana. Kejadian tersebut, dipertanyakan, mengingat secara kenegaraan, raja sebagai kepala negara tidak pernah menolak suatu impeachment yang dilakukan oleh parlemen terhadap perdana menteri, yang telah terbukti melanggar konstitusi. 

Selain itu, King Charles II juga pernah menjual lembaga pemaafan kepada siapapun asalkan dapat membayar seharga dua shilling. Perlakuan King Charles II, tidaklah wajar karena memperlakukan lembaga pemaafan sebagai suatu komoditas.

Setelah berlalu dan berbagai macam pro kontra di kalangan reformis hukum, lembaga pemaafan kembali dihidupkan di Prancis, namun dengan memadukan pendekatan trias politica, sehingga memberikan lembaga pemaafan ke ranah yudisial. Perumusan dimaksud, muncul dari rekomendasi Komisi Para Menteri Dewan Eropa, yang mengamanatkan agar lembaga pemaafan diberikan kepada hakim, karena merupakan ambang demokrasi yudisial yang dapat menentukan salah atau tidaknya perbuatan pelanggaran hukum.

Perombakan terjadi dan ketentuan lembaga pemaafan beralih menjadi pemaafan hakim. Perubahan norma diadopsi beberapa negara, seperti Belanda yang diatur didalam Pasal 9a KUHP Belanda, kemudian Portugal dengan konsep dispensa de pena, Yunani sampai dengan negara di Asia seperti Uzbekistan. 

Gagasan dan Tantangan Keberlakuan di Indonesia

Indonesia resmi mengadopsi norma pemaafan hakim melalui Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional. Ketentuan ini memungkinkan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau tindakan hukum terhadap terdakwa, dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang relevan secara kemanusiaan dan keadilan substantif.

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa hakim dapat menggunakan diskresi apabila terdapat ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, situasi pada saat tindak pidana dilakukan, serta keadaan yang muncul setelahnya. Semua pertimbangan ini harus dilihat dari perspektif keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan.

Adapun dilihat dari unsur-unsur dalam rumusan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ringannya Perbuatan

Dalam KUHP Nasional, ketentuan mengenai pemaafan hakim sebagaimana tercantum dalam Pasal 54 ayat (2) tidak secara eksplisit menjelaskan apa yang dimaksud dengan "ringannya perbuatan". Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan dalam praktik peradilan.

Menurut ahli hukum pidana Barda Nawawi Arief, ketidakjelasan ini memang menjadi kelemahan dari norma pemaafan hakim. Namun, di sisi lain, ketidakpastian tersebut dapat dilihat sebagai bentuk kelenturan hukum yang memberikan ruang diskresi lebih luas bagi hakim. Tujuannya adalah agar hakim tidak terbatas hanya pada delik-delik tertentu saat mempertimbangkan penerapan putusan pemaafan.

Pertanyaannya kemudian, apakah "ringannya perbuatan" ini hanya ditujukan pada tindak pidana ringan, sebagaimana Pasal 71 KUHP Nasional, yang mengatur delik dengan ancaman pidana di bawah lima tahun dan memungkinkan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara? Apakah keduanya harus dimaknai dan dikorelasikan secara identik?

Hingga saat ini, belum ada ketentuan baku yang secara tegas menjelaskan definisi “ringannya perbuatan” dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP. Bahkan, jika ditinjau dari perspektif KUHAP sebagai hukum acara pidana, belum terdapat aturan khusus yang mengatur secara teknis mengenai mekanisme penerapan putusan pemaafan hakim.

Ketiadaan pedoman yang jelas ini membuka ruang interpretasi, namun sekaligus menimbulkan tantangan dalam implementasi norma tersebut di praktik peradilan. Diperlukan pembaruan regulasi atau pedoman yudisial yang komprehensif untuk memastikan agar prinsip keadilan dan kemanusiaan dalam Pasal 54 dapat diterapkan secara konsisten dan akuntabel.

2. Keadaan Pribadi Pelaku

KUHP Nasional belum memberikan definisi yang jelas mengenai “keadaan pribadi pelaku” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2). Namun, istilah ini sempat disinggung dalam Penjelasan Pasal 22 KUHP, yang merujuk pada faktor-faktor seperti usia pelaku (lebih tua atau lebih muda), jabatan tertentu, profesi tertentu, atau kondisi gangguan mental.

Penjelasan ini memberikan gambaran awal bahwa keadaan pribadi pelaku mencakup unsur umur, jabatan, latar belakang profesi, hingga kondisi psikologis atau mental. Namun demikian, pertanyaan penting muncul: apakah pengertian tersebut juga berlaku dalam konteks Pasal 54 ayat (2) KUHP yang mengatur pemaafan hakim?

Jika dicermati lebih dalam, Pasal 22 KUHP membahas soal penyertaan dan pembantuan dalam tindak pidana, di mana pertanggungjawaban pidana antara pelaku utama dan pembantu dibedakan secara tegas. Artinya, konteks Pasal 22 berbeda dengan pendekatan pemaafan hakim dalam Pasal 54 ayat (2), yang lebih menekankan pada keadilan substantif dan kemanusiaan, bukan peran dalam tindak pidana.

Ketiadaan penjelasan rinci mengenai "keadaan pribadi pelaku" dalam Pasal 54 ayat (2) membuka ruang multitafsir di tingkat praktik peradilan. Hal ini berpotensi menimbulkan inkonsistensi dalam penerapan hukum jika tidak ada pedoman yang mengatur secara teknis.

Selain itu, timbul pula pertanyaan baru: apakah diperlukan asesmen profesional dari seorang psikolog untuk menilai kondisi pribadi terdakwa secara menyeluruh-baik dari aspek mental maupun karakter kepribadian? Sebab, seorang hakim pada dasarnya adalah ahli hukum, bukan ahli psikologi. Penilaian yang hanya berdasarkan pengamatan pribadi hakim dikhawatirkan tidak mencerminkan kondisi objektif terdakwa.

Oleh karena itu, agar prinsip keadilan dan kemanusiaan dapat diterapkan secara utuh dalam putusan pemaafan, sangat penting untuk menghadirkan pendekatan interdisipliner melalui dukungan asesmen psikologis profesional dalam proses peradilan.

3. Keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian

KUHP tidak memberikan maksud yang jelas mengenai syarat ketiga ini, demikian pula penjelasan Pasal 56 ayat (2) KUHP, yang tidak berikan ketegasan norma, mengenai apa yang dimaksud dengan keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian.

Sebaiknya KUHP perlu memuat ketegasan maksud dari keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian.  Hal ini, bertujuan menciptakan kepastian hukum dalam pelaksanaan lembaga pemaafan hakim. Selain itu, dapat menghindarkan bias pada norma, dengan ketentuan dalam keadaan darurat (noodtoestand).

Dari sudut pandang formalisme hukum, muncul banyak pertanyaan terkait kejelasan aturan mengenai putusan pemaafan hakim. Salah satu isu utama adalah apakah penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum jika tidak sependapat dengan putusan tersebut. Hal ini penting mengingat putusan pemaafan hakim tidak dapat disamakan dengan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yang secara hukum hanya bisa diajukan kasasi.

Pertanyaan yang mengemuka: apakah putusan pemaafan hakim bersifat final and binding, sehingga tidak bisa diganggu gugat melalui upaya hukum apa pun? Ataukah masih terbuka ruang hukum untuk melakukan perlawanan atau pengujian terhadap putusan tersebut?

Dalam praktik peradilan, posisi lembaga pemaafan hakim seharusnya dapat dijelaskan melalui hukum acara pidana (hukum pidana formil). Namun, berdasarkan hasil penelusuran terhadap Draft RUU KUHAP versi 20 Maret 2025 yang dirilis oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), belum ditemukan pengaturan yang secara eksplisit mengakomodasi atau menjawab permasalahan ini.

Ketiadaan kepastian hukum terkait mekanisme upaya hukum terhadap putusan pemaafan hakim membuka ruang perdebatan di kalangan praktisi dan akademisi hukum. Oleh karena itu, penting bagi pembuat kebijakan untuk segera menyusun pedoman teknis atau regulasi pelaksana, guna memastikan kepastian hukum dan perlindungan hak para pihak dalam proses peradilan pidana.

Kesimpulan

Rechterlijk pardon atau yang lebih dikenal dengan istilah pemaafan hakim, merupakan gagasan luhur dalam sistem hukum pidana yang bertujuan untuk menyeimbangkan keadilan formal dan keadilan material. Dalam praktiknya, terdapat kasus-kasus di mana perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan dinilai tercela oleh masyarakat. Namun, ketika ditinjau dari perspektif kemanfaatan dan nilai-nilai kemanusiaan, penerapan hukuman, terutama pidana jangka pendek, justru menimbulkan lebih banyak persoalan.

Pemberian pidana jangka pendek tidak hanya berdampak terbatas pada efek jera, tetapi juga menambah beban pada lembaga pemasyarakatan yang telah over kapasitas. Selain itu, situasi ini berimplikasi pada pembengkakan anggaran negara dalam pengelolaan narapidana, yang pada akhirnya menggerus efisiensi sistem peradilan pidana.

Oleh karena itu, gagasan pemaafan hakim telah selaras dengan arah pembaruan hukum pidana Indonesia yang diusung dalam KUHP Nasional. Meski begitu, diperlukan regulasi yang terarah, terukur, dan konsisten untuk mengatur implementasi rechterlijk pardon secara tepat.

Aturan yang jelas dan komprehensif akan menjaga keluhuran dan martabat lembaga kehakiman, sekaligus memastikan bahwa putusan pemaafan hakim diterapkan secara objektif, adil, dan proporsional, sesuai dengan nilai-nilai keadilan substantif yang diamanatkan oleh KUHP.

Referensi:

- Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman dalam Konsep RUU KUHP, dalam Mardjono Reksodiputro, Pengabdian Seorang Guru Besar Bidana, Depok: Badan Penerbit FH UI, 2007.

- David Trait, Pardons in Perspective: The Role of Forgivness in Criminal Justice, dimuat dalam Federal Reporter, 2000.

- Hewitt, The Queen’s Pardon, LondonL Casell, 1978, hlm. 174.

- McKnight, The Quality of Mercy Strained: Wrestling the Pardoning Power From the King, Honolulu: University Press of Hawai, 1981.

- Muhammad Iftar Aryaputra, Pemaafan Hakim Dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia, Tesis Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2013.

- Draf RUU KUHAP tanggal 20 Maret 2025, https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2025/03/RUU-KUHAP-20-Maret-2025.pdf.

- Resolusi No. 10 Tahun 1976 tentang Alternative Penal Measures to Imprisonment.

- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Penulis: Anandy Satrio P
Editor: Tim MariNews