Ketika Palu Keadilan Mengetuk di Bawah Batas: Kehati-hatian Hakim dalam Perkara Narkotika Pasal 112 dan 114

Hakim di Indonesia sering kali menghadapi dilema besar perihal mematuhi kepastian hukum atau menerapkan keadilan substantif.
Ilustrasi yurisprudensi putusan pengadilan. Foto : Freepik
Ilustrasi yurisprudensi putusan pengadilan. Foto : Freepik

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya Pasal 112 dan Pasal 114, menetapkan pidana minimum khusus yang tegas. 

Ketentuan ini dirancang sebagai lex specialis untuk memberikan efek jera yang maksimal, mengingat bahaya narkotika yang telah dinyatakan sebagai "darurat nasional". 

Namun, dalam praktiknya, Hakim di Indonesia sering kali menghadapi dilema besar perihal mematuhi kepastian hukum atau menerapkan keadilan substantif.

Fenomena putusan Hakim yang menjatuhkan pidana penjara di bawah batas minimum dalam pasal-pasal ini, menjadi sorotan yang memerlukan kehati-hatian luar biasa. 

Sebab hal ini melibatkan pertarungan antara asas legalitas (kepatuhan pada undang-undang) dan asas kemanusiaan/keadilan.

Dilema Hukum: Antara Kepastian dan Keadilan

Pasal 112 Ayat (1) dan Pasal 114 Ayat (1) UU Narkotika secara eksplisit mengatur, pidana penjara paling singkat empat atau lima tahun (tergantung jenis dan berat narkotika) dan denda yang sangat tinggi. 

Aturan ini seolah mengunci ruang gerak Hakim. Namun, dalam banyak kasus, fakta yang terungkap di persidangan menunjukkan, terdakwa yang didakwa dengan pasal-pasal pengedar (Pasal 114) atau kepemilikan (Pasal 112), sebenarnya hanya berperan sebagai pemakai murni atau kurir tingkat bawah (street-level courier), dengan barang bukti dalam jumlah yang relatif kecil. 

Di sinilah letak kehati-hatian seorang Hakim diuji.

    1. Pembuktian Peran dan Sikap Batin

Poin krusial yang menjadi pertimbangan utama hakim adalah, peran terdakwa dan sikap batin (mens rea) mereka. 

Hakim harus memastikan apakah terdakwa benar-benar memiliki niat untuk mengedarkan atau hanya memiliki untuk konsumsi pribadi. 

Jika ditemukan bukti bahwa narkotika tersebut hanya untuk dikonsumsi sendiri dan jumlahnya kecil, Hakim yang berpegang pada asas keadilan cenderung menilai bahwa penerapan pidana minimum pengedar tidak proporsional. 

Menghukum seorang pecandu dengan pidana penjara minimum empat tahun akan menutup peluang rehabilitasi dan justru memperburuk kondisinya. 

Dalam kasus seperti ini, kehati-hatian Hakim bergeser untuk mencari pemenuhan Pasal 127 (Penyalah Guna) yang mengutamakan rehabilitasi.

    2. Pedoman dan Diskresi Mahkamah Agung

Untuk memandu kehati-hatian ini, Mahkamah Agung mengeluarkan sejumlah panduan, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2023, SEMA Nomor 1 Tahun 2017, SEMA Nomor 3 Tahun 2015 dan SEMA Nomor 4 Tahun 2010. 

SEMA ini memberikan petunjuk teknis, jika Jaksa Penuntut Umum mendakwa dengan Pasal tertentu, tetapi faktanya terdakwa hanya sebagai pengguna dengan barang bukti relatif kecil, Hakim dapat menyimpangi pidana minimum. 

Dasar hukumnya adalah, diskresi Hakim dan asas kebebasan Hakim dalam mencari dan menemukan hukum yang adil (ius curia novit). 

Meskipun, SEMA bukanlah undang-undang, ia menjadi pedoman etis dan yuridis bagi Hakim dalam menyeimbangkan antara kepastian hukum (yang dituntut oleh UU Narkotika) dan keadilan substantif (yang dituntut oleh fakta kemanusiaan terdakwa).

Implikasi Kehati-hatian Hakim

Keputusan untuk menjatuhkan vonis di bawah minimum memiliki implikasi yang signifikan, antara lain:

  1. Aspek Kemanusiaan dan Rehabilitasi: Keputusan yang lebih ringan memungkinkan terdakwa, terutama yang tergolong pecandu, mendapatkan putusan rehabilitasi, bukan pemenjaraan. Ini sejalan dengan filosofi pemasyarakatan dan pemulihan, bukan sekadar pembalasan.
  2. Mencegah Disparitas Putusan: Dengan adanya kehati-hatian dan pedoman yang sama seperti SEMA, disparitas putusan (perbedaan berat hukuman untuk kasus yang serupa) dapat diminimalisir, sehingga keadilan di mata publik lebih terjamin.
  3. Peran dalam Jaringan: Pidana di bawah minimal dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang terbukti bukan merupakan bandar atau otak kejahatan. Hakim memberikan pertimbangan khusus pada peran terdakwa yang kooperatif, berterus terang, dan menunjukkan penyesalan.

Pada akhirnya, kehati-hatian Hakim dalam perkara narkotika Pasal 112 dan 114 adalah manifestasi dari penerapan hukum progresif. 

Hakim tidak hanya menjadi "corong undang-undang," tetapi juga penegak keadilan yang mempertimbangkan konteks sosial, peran terdakwa dan tujuan pemidanaan sejati dengan melindungi masyarakat sambil tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan peluang pemulihan. 

Palu yang diketuk di bawah batas minimum, adalah sebuah pesan bahwa hukum harus humanis, bukan sekadar robotis.

Penulis: Fuadil Umam
Editor: Tim MariNews