Tragedi kekerasan dalam pengamanan demonstrasi seringkali memperlihatkan wajah suram penegakan hukum di Indonesia. Ketika massa berkumpul menyuarakan aspirasi, tidak jarang situasi berubah menjadi konfrontasi yang berujung pada jatuhnya korban jiwa bahkan untuk pihak yang sebenarnya tidak terlibat.
Peristiwa-peristiwa ini memunculkan pertanyaan fundamental: apakah rule of law benar-benar berfungsi sebagai pengendali kekuasaan ketika negara menghadapi situasi darurat atau kericuhan sosial? Ataukah hukum justru menjadi alat yang dengan mudah dikesampingkan demi alasan stabilitas dan ketertiban?
Pertanyaan ini bukan sekadar akademis, melainkan menyentuh inti dari janji konstitusional Indonesia sebagai negara hukum.
Tragedi dalam pengamanan demonstrasi menunjukkan betapa rapuhnya perlindungan hak sipil ketika negara berhadapan dengan krisis sosial.
Rule of Law dan Krisis
Rule of law dalam makna sejatinya bukan sekadar "pemerintahan berdasarkan hukum", tetapi "pembatasan kekuasaan oleh hukum".
Konsep ini menempatkan hukum sebagai pembatas kekuasaan, bukan alat legitimasi tindakan sewenang-wenang. A.V. Dicey menegaskan bahwa rule of law mengandung tiga prinsip, supremasi hukum atas kekuasaan arbitrer, kesetaraan di hadapan hukum, dan konstitusi sebagai hasil dari hak-hak individual yang diakui pengadila (Dicey, A.V. (1885).
Namun, dalam situasi krisis, konsep ini menghadapi ujian berat. Giorgio Agamben dalam teorinya tentang "state of exception" mengingatkan bahaya normalisasi kekerasan negara. (Agamben, Giorgio. 2005).
Ketika krisis dijadikan alasan untuk menangguhkan hukum, maka yang terjadi bukanlah penegakan ketertiban, melainkan penciptaan ruang tanpa hukum di mana kekuasaan beroperasi tanpa kendali.
Konteks Indonesia memberikan landasan konstitusional yang jelas. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan: "Negara Indonesia adalah negara hukum." Frasa ini bukan sekadar deklarasi, melainkan komitmen bahwa segala tindakan negara, termasuk dalam situasi krisis, harus tunduk pada hukum.
Sayangnya, praktik sering menunjukkan kesenjangan antara ideal konstitusional dan realitas lapangan.
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa "hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun."
Sejalan dengan Pasal 4 ICCPR yang mengakui prinsip non-derogable rights, hak-hak yang tidak boleh dikurangi bahkan dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa.
Prinsip ini menjadi pagar utama terhadap penyalahgunaan kekuasaan aparat di lapangan. Tidak ada alasan, sekuat apapun, yang dapat membenarkan pelanggaran terhadap hak-hak fundamental ini.
Krisis sosial atau kericuhan massa tidak dapat dijadikan dalih untuk mengabaikan hak hidup atau melakukan penyiksaan.
Proporsionalitas dan Akuntabilitas Aparat
Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials) menetapkan tiga syarat penggunaan kekuatan: proporsional, perlu, dan dapat dipertanggungjawabkan.
SOP Polri tentang pengendalian massa sebenarnya telah mengadopsi prinsip-prinsip internasional ini. Namun, terdapat jurang menganga antara norma dan praktik.
Ketika situasi memanas, sering terjadi eskalasi yang tidak proporsional. Kekuatan berlebihan digunakan tanpa mempertimbangkan alternatif yang lebih lunak atau konsekuensi jangka panjangnya terhadap kepercayaan publik.
Kasus tragedi yang melibatkan korban jiwa dalam demonstrasi menunjukkan bagaimana rule of law dipinggirkan ketika kekuatan digunakan tanpa kendali yang memadai. Ini bukan hanya soal teknis operasional, tetapi cerminan dari mindset yang menempatkan stabilitas di atas hukum.
Peran Sentral Peradilan dalam Mengawal Rule of Law
Ketika aparat melakukan kekerasan berlebihan, pengadilanlah yang menjadi harapan terakhir korban dan keluarganya untuk memperoleh keadilan.
Hakim memiliki kewenangan untuk menilai apakah tindakan aparat telah melampaui batas proporsionalitas dan melanggar hak-hak konstitusional. Putusan pengadilan tidak hanya menentukan nasib individual, tetapi juga membentuk preseden tentang batas-batas kekuasaan negara.
Independensi peradilan menjadi kunci efektivitas peran ini. UUD 1945 pun telah menjamin hal itu. Namun, independensi ini harus dipahami tidak hanya dalam aspek institusional, tetapi juga dalam keberanian moral untuk mengambil keputusan yang mungkin tidak populer di mata penguasa (Burbank, Stephen & Friedman, Barry (eds.), 2002).
Putusan-putusan pengadilan dalam kasus-kasus kekerasan aparat berpotensi menciptakan yurisprudensi yang membatasi kekuasaan negara.
Ketika hakim dengan tegas menyatakan bahwa tindakan aparat telah melampaui batas hukum, hal ini memberikan sinyal jelas bahwa krisis bukan carte blanche untuk bertindak sewenang-wenang.
Sebaliknya, ketika pengadilan cenderung "memahami" atau memberikan justifikasi berlebihan terhadap tindakan represif aparat, hal ini dapat diinterpretasikan sebagai legitimasi terhadap impunitas.
Hakim yang takut mengambil sikap tegas terhadap pelanggaran HAM oleh aparat sesungguhnya telah mengkhianati sumpah jabatannya untuk menegakkan keadilan.
Meskipun demikian, hakim Indonesia juga menghadapi tantangan yang tidak mudah dalam menjalankan peran ini.
Tekanan politik, sosial, bahkan ancaman keselamatan, seringkali membayangi proses peradilan yang melibatkan aparat negara. Di sinilah perlunya penguatan sistem perlindungan bagi hakim yang berani mengambil keputusan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan tekanan eksternal.
Koridor dan Guidance Pemeriksaan Perkara
Dalam memeriksa perkara yang melibatkan tindakan aparat dalam situasi krisis, penulis menyarankan beberapa koridor dan pedoman yang harus diperhatikan:
Pertama, Uji Proporsionalitas Bertingkat. Hakim harus menerapkan uji proporsionalitas yang terdiri dari tiga tahap: (1) suitability - apakah tindakan aparat sesuai untuk mencapai tujuan yang sah; (2) necessity - apakah tidak ada alternatif lain yang lebih ringan; dan (3) proportionality stricto sensu- apakah kerugian yang ditimbulkan tidak berlebihan dibanding manfaat yang dicapai (Alexy, Robert. (2002). Uji ini mengharuskan hakim untuk tidak hanya melihat hasil akhir, tetapi juga menilai proses pengambilan keputusan di lapangan.
Kedua, Presumption of Innocence dalam Konteks Demonstran. Hakim harus menerapkan asas praduga tidak bersalah tidak hanya kepada terdakwa aparat, tetapi juga dalam memandang para demonstran.
Partisipasi dalam demonstrasi adalah hak konstitusional yang UUD 1945. Kekerasan massa tidak dapat dijadikan justifikasi untuk memperlakukan seluruh peserta demonstrasi sebagai ancaman yang harus dinetralisir dengan kekuatan.
Ketiga, Beban pembuktian dalam Kasus Penggunaan Kekuatan Mematikan. Ketika terjadi kematian dalam penanganan demonstrasi, beban pembuktian bahwa penggunaan kekuatan tersebut legal dan proporsional ada pada negara.
Prinsip ini sejalan dengan Prinsip Minnesota tentang Investigasi Potensi Kematian yang Tidak Sah. Hakim tidak boleh mudah menerima klaim aparat bahwa penggunaan kekuatan mematikan adalah "terpaksa" tanpa bukti yang kuat dan independen.
Keempat, Penerapan Doktrin Command Responsibility. Dalam kasus kekerasan sistematis, hakim harus mempertimbangkan tanggung jawab komando.
Tidak hanya anggota aparat lapangan yang dapat dimintai pertanggungjawaban, tetapi juga pimpinan yang gagal mencegah, menghentikan, atau menghukum tindakan ilegal bawahannya. Ini penting untuk memutus mata rantai impunitas struktural.
Kelima, Perlindungan Saksi dan Korban. Hakim harus memastikan bahwa proses peradilan tidak menimbulkan viktimisasi sekunder. Sistem perlindungan saksi harus diaktifkan, terutama untuk saksi-saksi sipil yang seringkali berada dalam posisi rentan terhadap intimidasi.
UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban harus diimplementasikan secara optimal.
Keenam, Transparansi dan Akuntabilitas Proses. Persidangan kasus-kasus yang melibatkan aparat dalam penanganan demonstrasi harus dibuka untuk publik, kecuali ada alasan khusus yang diatur undang-undang.
Transparansi ini bukan hanya memenuhi prinsip peradilan terbuka, tetapi juga membangun kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan mencegah spekulasi yang dapat memperburuk ketegangan sosial.
Refleksi Filosofis
Kekuasaan negara memiliki kecenderungan alamiah untuk membesar dalam situasi krisis. Carl Schmitt pernah menyatakan bahwa "sovereign is he who decides on the exception" (Schmitt, Carl. 2005). Tanpa rule of law yang kuat, krisis menjadi alasan pembenaran bagi impunitas. Yang berbahaya bukan hanya kekerasan fisik yang terjadi, tetapi normalisasi kekerasan sebagai respons "wajar" terhadap dissent.
Rule of law sejati diuji bukan dalam masa normal, tetapi justru di tengah kegentingan. Seperti dikatakan Lord Atkin dalam kasus Liversidge v. Anderson (1942): "In this country, amid the clash of arms, the laws are not silent". Hukum tidak boleh diam ketika kekuasaan berteriak.
Di sini lah keadilan substantif menemukan ujian paling nyata. Keadilan bukan sekadar prosedur formal, tetapi komitmen untuk melindungi yang lemah dari arogansi kekuasaan.
Ketika aparat negara menggunakan kekuatan berlebihan terhadap warga sipil, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nyawa individual, tetapi kredibilitas negara hukum itu sendiri.
Referensi:
Dicey, A.V. (1885). Introduction to the Study of the Law of the Constitution. London: Macmillan.
Tamanaha, Brian Z. (2004). On the Rule of Law: History, Politics, Theory. Cambridge: Cambridge University Press.
Agamben, Giorgio. (2005). State of Exception. Chicago: University of Chicago Press.
UN Human Rights Committee. (2001). General Comment No. 29: Article 4: Derogations during a State of Emergency. CCPR/C/21/Rev.1/Add.11.
UN General Assembly. (1990). Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials. A/CONF.144/28/Rev.1.
Burbank, Stephen & Friedman, Barry (eds.). (2002). Judicial Independence at the Crossroads. California: Sage Publications.
Schmitt, Carl. (2005). Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty. Chicago: University of Chicago Press.
Alexy, Robert. (2002). A Theory of Constitutional Rights. Oxford: Oxford University Press.
UN Office of the High Commissioner for Human Rights. (2016). Minnesota Protocol on the Investigation of Potentially Unlawful Death. UN Doc. A/HRC/31/66.