Saat Opini Publik Menguji Dinding MA: Tantangan Transparansi Peradilan

Dalam sistem hukum Indonesia, MA merupakan pengadilan tertinggi yang memegang kendali atas jalannya sistem peradilan.
Ilustrasi putusan pengadilan. Foto  Unsplash
Ilustrasi putusan pengadilan. Foto Unsplash

Di era digital ini, opini publik bergerak lebih cepat daripada palu hakim diketukkan. Setiap putusan pengadilan, apalagi yang menyangkut kasus-kasus sensitif atau figur publik, bisa langsung menjadi konsumsi nasional. 

Dalam hitungan jam, tangkapan layar amar putusan menyebar, lengkap dengan analisis versi warganet. Tak jarang, Mahkamah Agung (MA) pun ikut terseret dalam pusaran perdebatan publik.

Fenomena ini tentu menarik. Di satu sisi, meningkatnya perhatian masyarakat terhadap dunia peradilan menunjukkan partisipasi publik yang sehat. Tapi di sisi lain, tekanan opini publik bisa menjadi tantangan serius bagi independensi lembaga peradilan. 

Dalam sistem hukum Indonesia, MA merupakan pengadilan tertinggi yang memegang kendali atas jalannya sistem peradilan. 

Namun, bagaimana jika kepercayaan publik mulai goyah karena ketidakjelasan proses atau hasil putusan yang dianggap janggal?

Secara hukum, proses peradilan di Indonesia didasarkan pada asas terbuka untuk umum. Artinya, masyarakat berhak tahu apa yang terjadi di ruang sidang, kecuali dalam kasus tertentu seperti perlindungan anak. 

MA juga telah berupaya membuka akses publik melalui publikasi putusan dan pembaruan teknologi informasi di situs resminya. 

Namun, transparansi bukan sekadar soal mengunggah dokumen, melainkan juga bagaimana masyarakat bisa memahami isi putusan dengan bahasa yang masuk akal dan logika hukum yang jelas.

Di sinilah peran penting para hakim. Mereka tidak hanya menjadi penegak hukum, tapi juga komunikator nilai-nilai keadilan. 

Putusan yang baik tak hanya kuat secara yuridis, tapi juga bisa dipahami masyarakat. Ketika logika hukum tidak nyambung dengan rasa keadilan publik, maka jurang ketidakpercayaan bisa terbentuk.

MA sebagai pengawal tertinggi peradilan harus terus berbenah. Selain memperkuat kapasitas hakim, MA juga perlu mendorong budaya komunikasi yang terbuka dan edukatif. 

Edukasi hukum kepada masyarakat menjadi kunci agar publik tidak hanya reaktif, tetapi juga kritis dan cerdas dalam menanggapi putusan.

Harapannya, opini publik bukan menjadi ancaman, melainkan mitra kritis dalam menjaga kualitas peradilan. Karena di balik setiap vonis, ada harapan masyarakat terhadap keadilan yang nyata, bukan sekadar teks dalam dokumen hukum.

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews