Wacana PTTUN Jayapura dalam Penyelesaian Sengketa Keanggotaan DPRP/DPRK Otsus Papua

Saat ini, yurisdiksi sengketa penetapan dan pengesahan anggota DPRP/DPRK berada di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Manado
Ilustrasi  PTUN. Foto : freepik.com
Ilustrasi PTUN. Foto : freepik.com

Otonomi Khusus (Otsus) Papua berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana terakhir diubah dalam UU Nomor 2 Tahun 2021 memberikan ruang politik khusus bagi Orang Asli Papua (OAP). 

Salah satunya melalui mekanisme pengangkatan anggota DPRP dan DPRK lewat penetapan dan pengesahan yang berbeda dari mekanisme pemilihan anggota DPRD di provinsi dan kabupaten/kota lain di Indonesia. 

Proses ini memperlihatkan semangat pengakuan terhadap kekhususan Papua sebagai bentuk desentralisasi asimetris dalam tata kelola pemerintahan (Effendy, Revana Giara, 2023).

Namun, mekanisme penetapan dan pengesahan anggota DPRP/DPRK kerap memunculkan sengketa Tata Usaha Negara (TUN). 

Misalnya, calon anggota yang tidak lolos seleksi atau pihak tertentu yang merasa dirugikan akibat penetapan Panitia Seleksi, Keputusan Gubernur, atau Keputusan Bupati/Wali Kota. 

Sengketa ini menjadi ranah Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) karena objek sengketanya berupa Keputusan TUN.

Saat ini, yurisdiksi sengketa penetapan dan pengesahan anggota DPRP/DPRK berada di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Manado. Namun letak geografis yang jauh dari Papua menghadirkan problem akses, biaya, dan efektivitas peradilan. 

Kondisi ini menimbulkan gagasan untuk membentuk PTTUN Jayapura sebagai forum yudisial yang lebih dekat, sesuai asas peradilan sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.

Tulisan ini membahas wacana pembentukan PTTUN Jayapura dalam perspektif hukum, demokrasi, dan keadilan administratif di Papua.

Karakteristik Sengketa Keanggotaan DPRP/DPRK

Menurut Pasal 1 angka 9 UU Nomor 51 Tahun 2009, objek sengketa TUN adalah penetapan tertulis yang bersifat konkret, individual, final, serta menimbulkan akibat hukum. 

Oleh karena itu, penetapan dan pengesahan anggota DPRP/DPRK oleh Gubernur, Bupati, atau Wali Kota termasuk dalam kategori Keputusan TUN.

Lebih lanjut, PP Nomor 106 Tahun 2021 menegaskan prosedur seleksi dan pengesahan anggota DPRP dan DPRK. Panitia Seleksi (Pansel) menyampaikan hasil seleksi kepada Gubernur, Bupati, atau Wali Kota kemudian ditetapkan melalui Keputusan Kepala Daerah. 

Keputusan ini selanjutnya diusulkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan. Dengan demikian, sengketa dapat muncul di berbagai tahapan, mulai dari hasil seleksi, penetapan kepala daerah, hingga pengesahan oleh menteri.

Potensi sengketa yang berjenjang ini menuntut peran aktif PTTUN. Sesuai Pasal 84 PP Nomor 106 Tahun 2021, gugatan diajukan ke PTTUN dalam jangka waktu 3 (tiga) hari setelah dikeluarkannya Keputusan Kepala Daerah. 

Artinya, kecepatan dan akses menjadi faktor penting dalam menjamin efektivitas lembaga peradilan.

Kewenangan PTTUN 

Pada umumnya, PTTUN berfungsi sebagai pengadilan tingkat banding. Namun, berdasarkan Pasal 51 ayat 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 dan PP Nomor 106 Tahun 2021, PTTUN juga berwenang menjadi pengadilan tingkat pertama untuk sengketa tertentu, termasuk penetapan dan pengesahan anggota DPRP/DPRK.

Dengan model ini, PTTUN berperan langsung sebagai pengadilan pertama sebelum kasasi di Mahkamah Agung. Artinya, putusan PTTUN berperan penting dalam mewujudkan keadilan substantif, menjaga stabilitas politik, dan mendorong demokratisasi di Papua.

Namun realitas saat ini menempatkan Papua yang terdiri atas enam provinsi berada dalam yurisdiksi PTTUN Manado. Akibatnya, setiap sengketa penetapan dan pengesahan harus disidangkan di luar wilayah Papua. 

Kondisi ini menimbulkan beban besar, baik bagi para pihak yang sebagian besar adalah OAP dan pejabat daerah Papua.

Problematika Akses Keadilan

Problematika akses keadilan dalam sengketa penetapan dan pengesahan anggota DPRP maupun DPRK di Papua muncul karena perkara tersebut harus diselesaikan di PTTUN Manado. 

Dari sisi geografis, jarak yang jauh menuntut biaya tinggi dan waktu perjalanan yang panjang. Kondisi ini jelas tidak sejalan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan berbiaya ringan yang dijamin oleh UU Nomor 48 Tahun 2009. 

OAP yang ingin memperjuangkan hak politiknya terpaksa menghadapi hambatan finansial dan jarak yang justru menambah beban mereka sebagai pencari keadilan.

Persoalan ini juga menyangkut aspek partisipasi lokal. Sengketa terkait DPRP dan DPRK bukan sekadar persoalan administratif, melainkan berkaitan langsung dengan hak politik OAP. 

Forum yudisial di Papua mendekatkan akses keadilan bagi OAP dan mendorong terwujudnya demokratisasi masyarakat Papua. 

Selain itu, kecepatan penyelesaian sengketa berpotensi menjaga stabilitas politik. 

Papua adalah wilayah yang sensitif, baik secara historis maupun kultural. Sengketa yang diselesaikan dengan cepat akan meredam ketegangan politik dan memperkuat legitimasi hukum di mata masyarakat. 

Wacana Pembentukan PTTUN Jayapura

Pembentukan PTTUN Jayapura memiliki urgensi strategis, seperti implementasi asas peradilan sederhana, cepat, dan berbiaya ringan, penguatan Otsus Papua, mengakomodasi kearifan lokal dan hak-hak adat OAP, serta peningkatan kepercayaan masyarakat pencari keadilan.

Secara hukum, pembentukan PTTUN Jayapura memerlukan langkah-langkah berupa penerbitan undang-undang untuk membentuk PTTUN Jayapura dan menetapkan PTTUN Jayapura sebagai pengadilan yang berwenang secara absolut dan relatif di 6 (enam) provinsi Papua. 

Di samping itu, ketentuan Pasal 6 UU Nomor 5 Tahun 1986 dapat menjadi landasan pembentukan PTTUN Jayapura yang menentukan tempat kedudukan PTTUN di ibukota provinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

Selain itu, Mahkamah Agung perlu mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) khusus yang mengatur prosedur penanganan sengketa DPRP/DPRK Otsus Papua. Perma ini dapat menjadi pedoman hukum acara bagi hakim tinggi dalam menangani sengketa keanggotaan DPRP/DPRK. 

Penutup

PTTUN memiliki kewenangan absolut dalam menyelesaikan sengketa penetapan dan pengesahan anggota DPRP dan DPRK Otsus Papua. Namun, yurisdiksi PTTUN Manado menimbulkan problem terhadap asas peradilan sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.

Pembentukan PTTUN Jayapura sebagai jawaban atas kebutuhan peradilan yang sederhana, cepat, berbiaya ringan. 

Kehadiran PTTUN Jayapura akan memperkuat implementasi desentralisasi asimetris, mencegah ketidakstabilan politik, serta meningkatkan legitimasi hukum di mata masyarakat.

Penulis: David Pasaribu
Editor: Tim MariNews