Yurisprudensi MA RI: Tindakan Penyewa Mengubah Benda Sewaan

Warga negara yang memilih menyewa rumah atau kos, di mana terikat pada perjanjian sewa menyewa benda, sebagaimana diatur ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata.
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi dandapala.com/
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi dandapala.com/

Kemiskinan masih menjadi tantangan bangsa Indonesia, dewasa ini. Berdasarkan hasil penelitian yang dirilis Badan Pusat Statistik RI, Maret 2025, di mana jumlah warga miskin Indonesia sejumlah 23,85 juta jiwa. 

Adapun sebaran penduduk miskin di pedesaan, lebih banyak dibandingkan perkotaan. Warga desa terkategori miskin, sejumlah 12,58 juta jiwa dan untuk penduduk kota, sebanyak 11,27 juta jiwa. 

Tolak ukur guna menentukan warga negara, terkualifikasi sebagai masyarakat miskin, yakni akses terhadap kebutuhan pokok seperti pangan, perumahan dan faktor krusial lainnya seperti pendapatan,pendidikan dan kesehatan.

Daerah yang menyumbangkan jumlah warga miskin terbanyak di Indonesia, adalah Jawa Timur dengan total 3,8 juta penduduk, Jawa Barat sejumlah 3,6 juta warga dan Jawa Tengah 3,3 juta jiwa masyarakat. Sedangkan berdasarkan data BPS juga, Provinsi Bali, Kalimantan Selatan dan DKI Jakarta termasuk wilayah paling sejahtera penduduknya di Indonesia.

Salah satu faktor penilaian kemiskinan adalah keterbatasan mengakses atau memiliki hunian yang layak, di mana berdasarkan rilis data pemerintah pusat melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), jumlah kepala keluarga yang belum memiliki rumah pribadi, sekitar 14,2 juta jiwa atau sekitar 15,21% kepala keluarga.

Dengan demikian, masih banyak kepala keluarga yang memilih untuk mengontrak rumah atau kos. Terhadap hal tersebut, pemerintah telah menyusun beragam program perolehan hunian yang layak untuk warga negara, melalui rumah subsidi dan kemudahan pembiayaian kredit rumah.

Warga negara yang memilih menyewa rumah atau kos, di mana terikat pada perjanjian sewa menyewa benda, sebagaimana diatur ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata. 

Sebelum benda sewaan, diserahkan kepada pihak penyewa, pihak yang menyewakan berkewajiban menyerahkan benda dalam keadaan terpelihara segalanya dan selama waktu sewa melakukan perbaikan terhadap benda yang disewakan, kecuali yang jadi kewajiban penyewa untuk perbaikan kecil, sesuai Pasal 1551 jo Pasal 1583 KUHPerdata. 

Ketentuan Pasal 1552 KUHPerdata, juga menegaskan pihak yang menyewakan benda untuk menanggung cacat yang berdampak pada hambatan penggunaan benda tersebut. 

Demikian juga salah satu kewajiban dari pihak yang menyewakan, yakni larangan mengubah bentuk atau membongkar susunan benda sewaan, sebagaimana ketentuan Pasal 1554 KUHPerdata. 

Namun secara faktual, sering disaksikan pihak penyewa membongkar atau mengubah suatu bangunan, yang merupakan benda sewaan dan tanpa persetujuan dari pihak yang menyewakan benda. Apakah tindakan penyewa tersebut, dibenarkan secara hukum? 

Guna menjawab persoalan hukum tersebut, penulis menguraikan kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1400 K/Sip/1974 yang diputus dalam persidangan terbuka untuk umum tanggal 22 Oktober 1975, oleh Majelis Hakim Agung Indroharto, S.H. (Ketua Majelis), dengan didampingi R. Saldiman Wirjatmo, S.H. dan DH Lumbanradja, S.H. (masing-masing Hakim Anggota).

Kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1400 K/Sip/1974, menjelaskan tindakan penyewa membongkar, mengubah dan mendirikan bangunan, adalah dilarang secara hukum. Maka pengadilan, tidak dapat memberi izin guna membangun, membongkar, atau mengubah bangunan kepada penyewa.

Maka, dapat ditarik kesimpulan penyewa benda sewaan dilarang mengubah benda sewaan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian atau mendapatkan persetujuan dari pihak yang menyewakan benda.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1400 K/Sip/1974, telah ditetapkan sebagai Yurisprudensi MA RI Seri II Hukum Perdata dan Acara Perdata. Semoga bisa jadi referensi bagi hakim dalam mengadili perkara serupa dan menambah pengetahuan bagi pembacanya. 

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews