Perceraian adalah fase yang menyakitkan bagi setiap pasangan, terutama jika sudah memiliki buah hati. Salah satu kekhawatiran terbesar dalam proses ini adalah nasib anak. Siapa yang berhak mengasuh mereka?
Di Indonesia, terdapat anggapan umum bahwa hak asuh anak khususnya yang masih di bawah umur atau belum mumayyiz (belum bisa membedakan baik dan buruk, biasanya di bawah 12 tahun) akan jatuh secara otomatis ke tangan ibu, karena asumsi bahwa ibulah yang memiliki kedekatan emosional dan fisik paling erat dengan anak.
Hal ini, sering terjadi dan diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) maupun beberapa Putusan Mahkamah Agung, seperti Putusan Mahkamah Agung RI No. 126 K/Pdt/2001 tanggal 28 Agustus 2003 dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975.
Namun, hak ini bukanlah sesuatu yang mutlak. Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri selalu berpegang pada prinsip The Best Interest of the Child (Kepentingan Terbaik bagi Anak).
Artinya, jika keberadaan anak di tangan ibu justru membahayakan fisik atau mental anak, maka hak asuh tersebut bisa dicabut atau dialihkan kepada ayah.
Hal tersebut, sejalan dengan bunyi dalam Pasal 49 ayat (1) dan (2) Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan UU No. 16 tahun 2019 tentang Perkawinan.
Lantas, kondisi apa saja yang membuat seorang ibu dinilai tidak layak mendapatkan hak asuh anak? Berikut penjelasannya.
1. Perilaku Kasar dan Kekerasan (Abusive)
Ini adalah faktor yang paling fatal. Jika seorang ibu terbukti melakukan kekerasan, baik secara fisik (memukul, mencubit hingga lebam, melukai) maupun psikologis (memaki, menghina, merendahkan mental anak), Pengadilan akan mempertimbangkan untuk mencabut hak asuhnya.
Kekerasan ini tidak hanya berdampak pada luka fisik, tetapi juga trauma jangka panjang yang bisa merusak masa depan anak. Bukti visum atau kesaksian tetangga sering kali menjadi penentu dalam poin ini.
2. Memiliki Masalah Ketergantungan (Adiksi)
Seorang ibu dianggap tidak cakap mengasuh jika ia memiliki ketergantungan parah yang mengganggu fungsinya sebagai orang tua. Contohnya adalah:
- Kecanduan narkotika atau obat-obatan terlarang.
- Kecanduan alkohol (pemabuk).
- Kecanduan judi (termasuk judi online) yang menyebabkan ekonomi anak terlantar.
- Lingkungan yang penuh dengan zat adiktif atau perilaku tidak terkontrol sangat berbahaya bagi tumbuh kembang anak.
3. Penelantaran Anak
Seorang ibu bisa kehilangan hak asuh jika terbukti mengabaikan kebutuhan dasar anak. Ini bukan hanya soal kemewahan, tetapi kebutuhan pokok. Tanda-tanda penelantaran meliputi:
- Membiarkan anak kelaparan atau gizi buruk.
- Tidak mengurus kebersihan dan kesehatan anak.
- Membiarkan anak putus sekolah tanpa alasan jelas.
- Meninggalkan anak sendirian dalam waktu lama tanpa pengawasan orang dewasa.
4. Gangguan Jiwa yang Membahayakan
Poin ini harus dipahami dengan hati-hati. Memiliki masalah kesehatan mental ringan (seperti kecemasan) tidak otomatis membuat ibu kehilangan hak asuh. Namun, jika ibu menderita gangguan jiwa berat (seperti skizofrenia yang tidak terkontrol) yang membuatnya berhalusinasi, kehilangan akal sehat, atau berpotensi menyakiti diri sendiri dan anak, maka secara hukum ia dianggap tidak cakap (tidak mampu) melakukan pengasuhan.
5. Menghalangi Akses Ayah
Ini adalah poin yang sering dilupakan. Meskipun ibu mendapatkan hak asuh, ia dilarang keras memutus hubungan anak dengan ayahnya.
Jika ibu secara sengaja menghalang-halangi ayah untuk bertemu, menyembunyikan anak, atau menanamkan kebencian pada anak terhadap ayahnya (parental alienation), Hakim dapat menilai bahwa ibu tersebut tidak bertindak demi kepentingan psikologis anak.
Hak asuh bisa dialihkan kepada ayah agar anak tetap mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua.
Kesimpulan
Pada akhirnya, perebutan hak asuh bukanlah tentang siapa yang menang atau kalah antara ayah dan ibu. Ini adalah tentang dimana anak bisa tumbuh paling sehat, paling aman, dan paling bahagia. Meskipun secara naluriah ibu adalah pengasuh utama, hukum tetap objektif.
Jika bukti-bukti di Pengadilan menunjukkan bahwa ibu tidak mampu memberikan lingkungan yang aman atau justru menjadi sumber bahaya maka demi masa depan si Kecil, hak asuh akan diberikan kepada pihak yang lebih layak.
Menjadi orang tua asuh adalah amanah besar yang menuntut tanggung jawab fisik, mental, dan moral yang utuh.
