Dengan terbitnya Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional), merupakan suatu gebrakan perubahan dalam paradigma pemidanaan di Indonesia, berorientasi pada paradigma hukum pidana modern, yakni keadilan korektif yang ditujukan kepada pelaku, keadilan restoratif yang ditujukan kepada korban, dan keadilan rehabilitatif baik yang ditujukan kepada pelaku maupun korban.
Hal tersebut sangat berbeda dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang sekarang berlaku.
KUHP lama merupakan warisan kolonial yang berasal dari Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch-Indie yang masih berorientasi pada keadilan retributif, yang berfokus pada pemberian hukuman yang setimpal kepada pelaku kejahatan sebagai pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukannya.
Perbedaan tersebut terlihat jelas dalam pengaturan pidana pokok dalam KUHP Nasional dengan KUHP, dalam KUHP mengatur pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan.
Sedangkan dalam KUHP Nasional mengatur pidana pokok terdiri dari pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial.
Dengan adanya pergeseran paradigma yang ada, maka muncullah jenis pidana baru, yaitu pidana pengawasan dan pidana kerja sosial sebagai alternatif dari pidana penjara yang selama ini menjadi tujuan pemidanaan di Indonesia.
Pasal 85 KUHP Nasional menjelaskan bahwa pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan hakim dapat menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Kemudian dalam pelaksanaan pengawasan terhadap pidana kerja sosial dilakukan oleh Jaksa dan pembimbingan dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
Hakim dalam menjatuhkan pidana kerja sosial wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
- Pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan;
- Kemampuan kerja terdakwa;
- Persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial;
- Riwayat sosial terdakwa;
- Perlindungan keselamatan kerja terdakwa;
- Agama, kepercayaan dan keyakinan politik terdakwa; dan
- Kemampuan terdakwa membayar pidana denda.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut, terdapat pertimbangan yang bersifat pribadi, seringkali tidak berkaitan langsung dalam proses pembuktian dalam persidangan, sehingga perlu adanya suatu upaya menggali informasi dari terdakwa untuk kepentingan pemidanaan sesuai dengan amanat dari KUHP Nasional.
Apabila kita menelaah lebih lanjut, dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan menjelaskan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan melaksanakan pendampingan, pembimbingan dan pengawasan terhadap klien, yang menjalani pidana kerja sosial dan pidana pengawasan bagi dewasa, dilakukan berdasarkan hasil Litmas.
Litmas atau Penelitian Kemasyarakatan adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif, untuk kepentingan pelayanan tahanan atau anak, pembinaan narapidana atau anak binaan dan pembimbingan kemasyarakatan klien, serta sebagai dasar pertimbangan penyidik, penuntut umum dan hakim dalam penyelesaian perkara.
Dengan adanya hasil Litmas dari Pembimbing Kemasyarakatan, diharapkan dapat diperoleh adanya suatu rekomendasi mengenai:
- Rekomendasi apakah terdakwa patut dan layak untuk dijatuhkan pidana kerja sosial; dan
- Rekomendasi pelaksanaan pidana kerja sosial yang tepat dan layak bagi terdakwa mengenai tempat pelaksanaan pidana kerja sosial, aktifitas kerja sosial yang dijatuhkan, durasi pelaksanaan pidana kerja sosial dan jumlah jam pelaksanaan kerja sosial yang harus dipenuhi setiap harinya.
Dikarenakan dalam Pasal 85 ayat (9) KUHP Nasional, telah mengamanatkan hakim dalam putusannya, harus memuat mengenai pelaksanaan pidana kerja sosial berupa:
- Lamanya pidana penjara atau besarnya denda yang sesungguhnya dijatuhkan oleh hakim;
- Lamanya pidana kerja sosial yang harus dijalani, dengan mencantumkan jumlah jam per hari dan jangka waktu penyelesaian pidana kerja sosial; dan
- Sanksi jika terpidana tidak menjalani pidana kerja sosial yang dijatuhkan.
Sehubungan hal tersebut, maka peran dari Pembimbing Kemasyarakatan dalam proses ini menjadi sangat vital (penting), karena Pembimbing Kemasyarakatan mempunyai peran selain memberikan kajian berupa hasil Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) juga mempunyai peran pembimbingan dalam pelaksanaan pidana kerja sosial.
Dalam prosesnya, Pembimbing Kemasyarakatan dapat bekerja sama dengan lembaga pemerintah yang membidangi pekerjaan sosial.
Pembimbing Kemasyarakatan dapat merekomendasikan pelaksanaan pidana kerja sosial dapat dilaksanakan di rumah sakit, panti asuhan, panti lansia, sekolah atau lembaga-lembaga sosial lainnya yang disesuaikan dengan profesi terpidana itu sendiri.
Dalam Pasal 85 ayat (7) KUHP Nasional, menegaskan bahwa dalam putusan pengadilan juga harus memuat perintah jika terpidana tanpa alasan yang sah tidak melaksanakan seluruh atau sebagian pidana kerja sosial, terpidana wajib:
- Mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut;
- Menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; atau
- Membayar seluruh atau sebagian denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dibayar.
Untuk mengetahui mengenai pelaksanaan pidana kerja sosial tersebut, diperlukan adanya pengawasan terhadap pelaksanaan pidana kerja sosial yang dilakukan oleh Jaksa dan pembimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Sehingga perlu adanya koordinasi dan kerjasama yang erat antara Jaksa dan Pembimbing Kemasyarakatan.
Akan tetapi hingga saat ini belum ada regulasi yang mengatur secara rigid mengenai mekanisme koordinasi pelaksanaan dan pelaporan hasil pelaksanaan dari pidana kerja sosial yang dilakukan oleh terpidana.
Sehingga, perlu adanya regulasi yang mengatur secara komprehensif dan teknis pelaksanaan pidana kerja sosial agar pelaksanaan pidana kerja sosial dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
Sumber Referensi:
Eddy O.S Hiariej dan Topo Santoso , Anotasi KUHP Nasional. Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2025.