Dalam beberapa tahun terakhir, Pengadilan Agama maupun negeri di Indonesia mulai mencatat satu fenomena unik: gugatan cerai karena pasangan terlalu sibuk bermain game atau menatap layar gadget. Perkara ini tak lagi sekadar isu rumah tangga biasa, tetapi sudah menjadi persoalan hukum yang perlu disikapi secara serius.
Kecanduan gadget atau game online memang bisa berdampak serius, mulai dari kurangnya komunikasi hingga pengabaian tanggung jawab dalam rumah tangga. Bagi sebagian pasangan, hal ini menjadi alasan kuat untuk mengajukan perceraian. Namun, dalam ruang sidang, peran hakim menjadi sangat penting untuk memilah mana yang sekadar keluhan emosional dan mana yang benar-benar berdasar hukum.
Dalam sistem hukum kita, perceraian harus dibuktikan dengan adanya alasan sah, seperti pertengkaran terus-menerus, penelantaran, atau kekerasan. Artinya, sekadar ‘doyan main game’ belum tentu bisa jadi alasan cerai jika tidak disertai bukti nyata bahwa hal itu menyebabkan keretakan serius dalam hubungan.
Di sinilah tantangan hakim. Mereka harus bijak menilai situasi, tidak memihak, dan tetap menjunjung prinsip keadilan. Peran Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga yudikatif tertinggi sangat penting dalam memberikan pedoman teknis dan moral bagi para hakim di lapangan. MA dapat menyusun petunjuk atau bahkan pelatihan khusus untuk menangani perkara-perkara dengan isu kontemporer seperti ini.
Ke depan, penting bagi para hakim untuk terus memperkaya diri, memahami dinamika sosial dan teknologi yang memengaruhi perkara rumah tangga. Masyarakat juga perlu diberi pemahaman bahwa pernikahan bukan hanya soal cinta, tetapi juga komitmen dan komunikasi yang sehat. Gadget dan game memang bisa menghibur, tetapi jika tak terkontrol, bisa menjadi ‘pihak ketiga’ yang menghancurkan bahtera rumah tangga.
Semoga peran pengadilan tetap menjadi penegak keadilan yang adil, bijak, dan responsif terhadap zaman.