KUHP Baru dan Momen Kerusuhan: Ketika Hukum Bertemu Ketidakpuasan Publik

Secara singkat, KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) adalah hasil kodifikasi hukum pidana nasional yang diperbarui dari KUHP lama peninggalan kolonial Belanda.
Ilustrasi KUHPerdata. Foto www.istockphoto.com
Ilustrasi KUHPerdata. Foto www.istockphoto.com

Beberapa hari lalu, Indonesia mengalami gejolak serius. Aksi protes yang lahir dari frustrasi publik atas tunjangan anggota DPR memicu kerusuhan di berbagai kota. 

Sementara itu, Undang-Undang KUHP Nasional yang baru mulai berlaku muncul dalam diskusi publik sebagai terjemahan hukum pidana modern. Di tengah situasi ini, muncul pertanyaan: bagaimana KUHP baru berinteraksi dengan realitas sosial yang terus berubah?

Secara singkat, KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) adalah hasil kodifikasi hukum pidana nasional yang diperbarui dari KUHP lama peninggalan kolonial Belanda. 

Undang-undang ini memperkenalkan sejumlah ketentuan baru seperti pengakuan hukum adat dan penyesuaian terhadap kejahatan masa kini, termasuk siber. 

Namun, sejumlah pasal sensitif—seperti pelarangan berita bohong yang menyebabkan kerusuhan, atau kriminalisasi terhadap kebebasan pers, menuai kritik dari masyarakat sipil dan wartawan.

Ketika kerusuhan pecah akhir-akhir ini yang dipicu oleh kemarahan atas tunjangan luar biasa dan kematian salah satu demonstran, pertanyaan muncul: dapatkah KUHP baru diterapkan secara adil saat tatanan sosial sedang tidak normal?

Misalnya, tindakan penjarahan saat kerusuhan dapat dikenai pemberatan hukum karena tekanan sosial, sebagaimana diatur dalam KUHP lama. Namun, KUHP baru belum memiliki preseden bagaimana pengadilan menyorot konteks kerusuhan seperti ini.

Di sinilah peran Mahkamah Agung (MA) dan para hakim menjadi sangat penting. Mereka tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga menjembatani norma legal KUHP baru dengan situasi riil di lapangan. 

MA memiliki kewenangan untuk menerbitkan pedoman teknis, misalnya melalui Surat Edaran, agar penafsiran pasal yang baru dapat konsisten antara satu pengadilan dengan pengadilan lain. 

Sedangkan hakim-hakim di tingkat pertama harus peka terhadap kondisi sosial, memastikan keadilan tetap ditegakkan tanpa mengabaikan konteks yang melingkupinya.

Harapan ke depan, KUHP bukan dijadikan alat represif yang memicu ketakutan, melainkan instrumen hukum yang melindungi stabilitas dan mengedepankan keadilan restoratif. 

Pemerintah dan MA perlu melakukan sosialisasi intensif, memperkuat pelatihan bagi aparat peradilan, dan membuka ruang diskusi publik tentang penerapan pasal-pasal yang sensitif. 

Dengan demikian, KUHP baru dapat berjalan selaras dengan aspirasi publik—bukan menjadi bahan bakar keretakan, tetapi fondasi hukum yang kuat dan adil di tengah tantangan zaman.

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews