Anatomi, bentuk atau struktur pokok putusan pemidanaan saat ini, telah mengarah pada keseragaman sebagaimana dengan ditetapkannya, SK KMA Nomor: 359/KMA/SK/XII/2022 Tentang Template Dan Pedoman Penulisan Putusan/Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama Dan Tingkat Banding Pada Empat Lingkungan Peradilan Di Bawah Манкаmah Agung.
Bertalian dengan hal tersebut, dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP Nasional, yang akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026 nampaknya akan membawa perubahan berupa penambahan terhadap anatomi putusan pidana.
Diantaranya, untuk pemidanaan yang memuat penjatuhan denda, oleh karena melalui penjelasan Pasal 81 ayat 1 KUHP Nasional diatur Putusan Pengadilan yang menjatuhkan Pidana Denda memuat antara lain:
- waktu pelaksanaan pidana denda,
- cara pelaksanaan pidana denda,
- penyitaan dan Lelang, dan d. pidana pengganti pidana denda.
Lantas bagaimanakah hakim memformulasi putusannya berdasarkan instrumen hukum eksisting untuk dapat mengakomodir Pasal 81 ayat 1 KUHP Nasional ?
Menerjemahkan Amanat 81 Ayat 1 KUHP Nasional ke Dalam Putusan
Sebelum menjatuhkan pidana denda, hakim wajib mempertimbangkan keadaan ekonomi pelaku tindak pidana (vide: Pasal 54 ayat 1 huruf g KUHP Nasional) serta memperhatikan penghasilan dan pengeluaran terdakwa secara nyata (vide: Pasal 80 ayat 1 KUHP Nasional).
Setelah dipertimbangkan maka pertanyaan mendasar yang dapat mengemuka adalah, dimanakah letak ketentuan pasal 81 ayat 1 KUHP Nasional tersebut dalam sistematika Putusan ?
Penulis berpendapat, letaknya adalah minimal ada dalam amar putusan dan jauh lebih baik juga dimuat dalam bagian pertimbangan hukum/legal reasoning (baik dalam obiter dicta maupun ratio decidendi) sebagai suatu putusan yang baik.
Hal mana juga analog dalam putusan pidana, terkait penentuan kualifikasi pidana maupun status barang bukti dalam amar putusan, selalu sebelumnya dijabarkan alasannya dalam bagian pertimbangan hukum.
Adapun dasar argumentasi, kenapa minimal harus ada dalam amar atau dengan kata lain, sifatnya mutlak ada dalam amar karena untuk menghidupkan sifat eksekutorialnya putusan yang memungkinan untuk ditindaklanjuti oleh eksekutor maupun terpidana, adalah melalui amar sebagai cerminan perintah pengadilan (judicial order).
Judicial order dimaknai sebagai mekanisme hukum (legal mechanism) dalam konteks perintah pengadilan yang seharusnya dipatuhi dan dilaksanakan.
Muatan dari “perintah” tersebut adalah dorongan agar adressat putusan menjalankan isi putusan, juga berfungsi sebagai sarana kontrol atas kepatuhan adressat putusan.
Mekanisme dalam KUHP Nasional, dapat dikatakan serupa dengan pidana denda di Belanda, yang mana pembayaran harus dilakukan dalam jangka waktu yang ditentukan.
Otoritas yang bertanggung jawab atas penagihan dan pengelolaan denda adalah Centraal Justitieel Incassobureau (Selanjutnya di singkat CJIB), sebuah badan pemerintah yang menangani eksekusi denda pidana dan administrasi hukum lainnya.
CJIB mengeluarkan surat pemberitahuan kepada terpidana dengan rincian jumlah denda, batas waktu pembayaran, dan metode pembayaran yang tersedia. Terdapat beberapa metode pembayaran yang dapat dilakukan, antara lain:
Pembayaran Langsung: Denda dapat dibayarkan secara penuh melalui transfer bank atau pembayaran online melalui sistem yang disediakan oleh CJIB.
- Cicilan (Betalingsregeling): Jika terpidana tidak mampu membayar sekaligus, mereka dapat mengajukan permohonan cicilan kepada CJIB. Permohonan ini akan dipertimbangkan berdasarkan kondisi ekonomi terpidana.
- Penyitaan Aset (Beslaglegging): Jika terpidana tidak membayar denda dalam jangka waktu yang ditentukan dan tidak mengajukan permohonan cicilan, CJIB memiliki kewenangan untuk menyita aset atau memotong penghasilan terpidana.
Ad. 1 Waktu Pelaksanaan Pidana Denda
Alasan dan pertimbangan bahwa penegasan frasa penentuan waktu pelaksanaan pidana denda dalam amar putusan adalah agar memudahkan terpidana dalam mengartikan dan memahami tentang hukuman pidana denda yang dijatuhkan kepadanya beserta batas waktu yang diberikan Negara dalam hal ini melalui putusan pengadilan.
Sehingga diharapkan dengan pemahaman tersebut terpidana dapat mempersiapkan diri untuk melakukan pembayaran pidana denda tersebut sesuai dengan batas waktu yang ditentukan oleh Hakim dalam putusannya.
Selain itu, penetapan batas waktu pembayaran memberi kepastian pula kepada aparat pelaksana pidana denda untuk mengambil tindakan berikutnya apabila dalam tenggang waktu yang telah ditetapkan, pidana denda tidak dibayar.
Sebagai komparasi antar negara, KUHP Yugoslavia menetapkan batas waktu pembayaran denda tidak dapat kurang dari 15 hari dan tidak lebih dari 3 bulan.
Tetapi untuk kasus tertentu yang dapat dibenarkan (Warranted cases) denda dapat dicicil dalam batas waktu sampai 2 tahun (Pasal 37 ayat 2).
KUHP Korea menetapkan pembayaran denda dan denda ringan dilakukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh ) hari setelah putusan menjadi final (Pasal 69 ayat 1).
KUHP Thailand menetapkan pembayaran pidana denda dilakukan dalam batas waktu 30 (tiga puluh) hari sejak hari pengadilan menjatuhkan putusan (Pasal 29).
Kajian perbandingan terhadap beberapa KUHP Negara lain tersebut, menunjukkan cara-cara pengaturan batas waktu pembayaran denda, dari kebijakan yang bersifat relatif sempit seperti KUHP Korea dan Thailand maupun penetapan batas waktu yang relative lebih longgar seperti KUHP Yugoslavia.
Adapun di Indonesia, berdasarkan Pasal 273 ayat (1) dan (2) KUHAP diatur kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi. Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.
Sejatinya jangka waktu ini tidaklah menutup kesempatan bagi terpidana untuk membayar pidana denda, oleh karena dalam hal terpidana tidak membayar lunas pidana denda begitu pula dari pelaksanaan sita-lelang tetap tidak mencukupi sehingga harus dijalankan pidana pengganti.
Maka, selama masa menjalani pidana pengganti ini terpidana masih dapat membayar pidana dendanya sehingga lama pidana pengganti akan dikurangi menurut hukum yang sepadan.
Perhitungan lama pidana pengganti didasarkan pada ukuran untuk setiap pidana denda Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) atau kurang yang disepadankan dengan:
- 1 (satu) jam pidana kerja sosial pengganti; atau
- 1 (satu) Hari pidana pengawasan atau pidana penjara pengganti.
Ad. 2 Cara Pelaksanaan Pidana Denda
Di Belanda, dengan mempertimbangkan kemampuan finansial terdakwa yang terbatas, hakim dapat menentukan pembayaran denda secara mengangsur dan harus disebutkan dalam putusan atau punishment order (perintah hukuman) (vide: Pasal 24a Wetboek van Strafrecht).
Di dalam Pasal 24 a dinyatakan: Jika vonis dijatuhkan satu atau lebih pidana denda sampai mencapai jumlah sekurang-kurangnya 500 gulden, maka hakim berwenang untuk menetapkan dalam putusannya bahwa terpidana diperkenankan melunasi pidana denda dimaksud dengan cara mencicil. Setiap cicilan sekurang-kurangnya harus senilai 100 gulden.
Hakim akan sekaligus menetapkan jangka waktu dari cicilan kedua dan berikutnya.
Tenggat waktu tersebut ditetapkan sekurang-kurangnya satu bulan dan setinggi-tingginya 3 bulan dan keseluruhan jangka waktu pembayaran tersebut tidak boleh melampaui 2 tahun.
Kebijakan serupa ada pada KUHP Argentina, Pasal 21 dinyatakan bahwa terpidana dibolehkan membayar denda secara mencicil, pengadilan akan menentukan jumlah dan tanggal setiap pembayaran berhubungan dengan keadaan keuangan terpidana.
Cara pelaksanaan pidana denda dengan mengangsur sedikit banyak dilatarbelakangi sistem di Eropa Barat seperti Finlandia, Swedia, Norwegia, Denmark, Jerman Austria, Perancis dan Portugal telah berkembang ‘sistem pidana denda baru’ yang disebut ‘denda harian’ (day fine), yaitu denda didasarkan kepada kemampuan keuangan/pendapatan orang perhari setelah dikurangi hutang-hutangnya.
Sebagai contoh, praktik kebijakan denda harian (day fine) sebagaimana contohnya KUHP Denmark dan KUHP Jerman sebagai berikut:
- KUHP Denmark: Denda (fine bode) dapat dikenakan dalam bentuk ‘denda harian’ (a dayfine). Minimalnya 1 (satu) denda harian dan maksimalnya 60 denda harian, tetapi apabila ada beberapa delik, maka denda harian ditetapkan berdasarkan penghasilan rata-rata perhari dari yang bersangkutan dengan mempertimbangkan keadaan-keadaan khusus seperti sumber-sumber modal/kekayaan (his capital resources) dan kewajibannya terhadap keluarga. Minimal denda harian adalah 2 crown Denmark.
- KUHP Jerman: Denda akan dikenakan berdasarkan perhitungan harian. Jumlah denda minimum 5 unit denda harian, kecuali ditentukan lain oleh UU dan tidak lebih dari 360 unit denda harian. Jumlah perhitungan denda harian akan ditentukan oleh pengadilan dengan memperhatikan keadaan ekonomi pelanggar secara individual. Pada umumnya, ini merupakan pendapatan yang akan terdakwa dapat atau akan didapat. Minimum perhitungan denda harian adalah 2 mark dan maksimum 10.000 mark. Penentuan jumlah perhitungan denda harian diperkirakan dari pendapatan, harta benda terdakwa dan dasar-dasar lain (Pasal 40).
Berdasarkan hal-hal tersebut, nampaknya Hakim dapat menentukan cara melaksanakan pidana denda bagi Terpidana, apakah dengan pembayaran langsung tunai ataukah dengan diadopsinya cara pelaksanaan pidana denda dengan mengangsur/mencicil (vide: Pasal 81 ayat 2 KUHP Nasional).
Apabila hakim akan menentukan cara pelaksanaan pidana denda mengangsur/mencicil, nampaknya hakim juga diberi kebebasan berdasarkan keadilan untuk atau memformulasikan termin-termin berserta nilai per terminnya sebagaimana lazimnya pemenuhan prestasi dalam hubungan kontraktual/keperdataan.
Ad. 3 Penyitaan Dan Lelang
Penyitaan dan pelelangan ini untuk memastikan bahwa denda yang tidak dibayarkan dapat tetap dilunasi sesuai dengan putusan pengadilan.
Dengan mengenakan denda, maka hakim bermaksud untuk menginsyafkan narapidana untuk menjadi lebih baik.
Pidana denda seharusnya dapat dirasakan sifat nestapanya dengan keharusan membayar dendanya.
Dengan penyitaan dan pelelangan kekayaan atau pendapatan terpidana juga diharapkan sebagai jaring penjamin agar pidana denda dibayar oleh terpidana yang bersangkutan atau tidak ditanggung oleh pihak ketiga (majikan, orang tua, teman/kenalan baik dan lainnya) sehingga dapat dicegah pidana yang dijatuhkan tidak secara langsung dirasakan oleh si terpidana sendiri.
Apabila tidak, maka membawa akibat tidak tercapainya sifat dan tujuan pemidanaan untuk membina si pembuat tindak pidana agar menjadi anggota masyarakat yang berguna, serta mendidik si pelaku tindak pidana untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Apabila pidana denda tidak dibayar dalam jangka waktu yang telah ditentukan, kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar.
Terminologi “tidak dibayar” dalam konteks ini bermakna tidak dibayar sama sekali atau dibayar Sebagian (vide: Pasal 82 ayat 3 KUHP Nasional).
Materi muatan norma yang demikian sejatinya bukan hal yang baru dalam hukum positif Indonesia, sebagai contohnya adalah Pasal 110 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan: “Dalam hal pidana denda tidak dibayar oleh terpidana, sebagai gantinya diambil dari kekayaan dan/atau pendapatan terpidana” atau Pasal 59 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 jo Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Cukai: “Dalam hal pidana denda tidak dibayar oleh yang bersangkutan, diambilkan dari kekayaan dan/atau pendapatan yang bersangkutan sebagai gantinya”.
Berdasarkan random sampling terhadap putusan yang terdapat dan dapat diakses umum dalam direktori putusan Mahkamah Agung, ditemukan beberapa putusan di bidang kepabeanan dan cukai yang dalam amar putusannya tidak memuat perihal penyitaan dan pelelangan sebagai suatu rangkaian dengan pidana denda yang dijatuhkan.
Akan tetapi ada beberapa putusan yang juga telah memuat perihal penyitaan dan pelelangan sebagai suatu rangkaian dengan pidana denda yang dijatuhkan, dengan formulasi redaksi dalam amar sebagai berikut:
- jika terdakwa tidak membayar denda paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta benda dan/atau pendapatan Terdakwa dapat disita oleh Jaksa untuk mengganti sejumlah denda yang harus dibayarkan dan jika tidak mencukupi diganti dengan pidana… (vide: Putusan Nomor 179/Pid.B/2022/PN Ckr)
- jika dalam waktu 1 (satu) bulan denda tidak dibayar maka harta benda dan/atau pendapatan Terdakwa dapat disita oleh Jaksa untuk mengganti sejumlah denda yang harus dibayar dan jika tidak mencukupi diganti dengan pidana… (vide: Putusan Nomor 34/Pid.Sus/2024/PN Pre)
- dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar dalam jangka waktu 1 (satu) Bulan maka harta benda dan/atau pendapatan Terdakwa disita oleh Penuntut Umum dan jika tidak mencukupi diganti dengan pidana… (vide: Putusan Nomor 7/Pid.B/2025/PN Gdt)
Apabila dikaitkan dengan pemberlakuan KUHP Nasional, nampaknya redaksi atau frasa perihal penyitaan dan pelelangan nantinya secara basis tidak akan jauh berbeda dengan perkara-perkara di bidang kepabeanan dan cukai sebagaimana tersebut di atas.
Meskipun demikian, penulis memiliki gagasan agar pemerintah menyusun kebijakan yang memungkinkan dalam suatu sistem peradilan pidana, baik dari tingkat penyidikan, pra-penuntutan, penuntutan bahkan selama proses persidangan, APH terkait diberikan kewenangan untuk dapat menginventarisir harta kekayaan/pendapatan terdakwa dilengkapi dengan pendapat ahli perihal valuasi ekonomi atau taksiran harga masing-masing kekayaan tersebut, karena apabila hal tersebut dapat terwujud, akan memiliki keunggulan setidaknya:
- Hakim akan lebih dimudahkan untuk menentukan objek kekayaan terdakwa secara definitive dalam amar putusan yang mampu mengkover (sama dengan atau lebih tinggi) dari nilai denda yang akan dijatuhkan.
- Selain penentuan kekayaan terdakwa dari segi nilai, dengan adanya inventarisir kekayaan terdakwa, maka sebisa mungkin hakim memilih dan menentukan berdasarkan prioritas yakni menempatkan objek yang “dilindungi dari penyitaan” dalam konteks keperdataan, yakni hewan dan perkakas untuk menjalankan menjalankan pekerjaan/pencarian nafkah (vide: Pasal 197 ayat (8) HIR atau Pasal 211 RBg), untuk tidak dipilih atau dipilih sebagai pilihan terakhir dalam penentuan objek penyitaan dan pelelangan.
- Dengan ditentukannya secara definitive objek penyitaan dan pelelangan dalam amar putusan maka akan mencegah objek yang bersangkutan untuk dilakukan pengalihan sebelum jangka waktu pelaksanaan pidana denda terlewati.
Ad. 4 Pidana Pengganti
Berdasarkan Pasal 30 ayat 2 KUHP, Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan atau misalnya dalam perundang-undangan khusus di luar KUHP, seperti Pasal 148 UU Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ditentukan pidana denda tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti pidana denda.
KUHP Nasional mengatur jenis pidana pengganti yang didasarkan pada kategori denda sebagai berikut:
- Untuk pidana denda yang tidak melebihi denda kategori II, maka setelah proses penyitaan dan pelelangan tidak cukup atau memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara, pidana pengawasan, atau pidana kerja sosial. Dengan ketentuan lama pidana pengganti:
- untuk pidana penjara pengganti, paling singkat 1 (satu) Bulan dan paling lama 1 (satu) tahun yang dapat diperberat paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) Bulan jika ada perbarengan;
- untuk pidana pengawasan pengganti, paling singkat 1 (satu) Bulan dan paling lama 1 (satu) tahun, berlaku syarat-syarat umum maupun khusus yang ditetapkan (vide: Pasal 76 ayat 2 dan 3 KUHP Nasional); atau
- untuk pidana kerja sosial pengganti paling singkat 8 (delapan) jam dan paling lama 240 (dua ratus empat puluh) jam.
- Untuk pidana denda diatas denda kategori II, maka setelah proses penyitaan dan pelelangan tidak cukup atau memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat I (satu) tahun dan paling lama sebagaimana diancamkan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.
Sumber- sumber Referensi :
Rina Afrinata Riska, 2025, Eksistensi Pidana Denda Dalam Hukum Pidana Indonesia (Studi Perbandingan Dengan Negara Belanda)
Siaran Pers: Penerbitan Peraturan OJK Tentang Tata Cara Penagihan Sanksi Administratif Berupa Denda
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 3, December 202.
Barda Nawawi Arief, 2003, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Andi Hamzah, Seri KUHP Negara-negara Asing
Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia, PT. Pradnya Paramita, Jakarta
Syaiful Bakhri, Jurnal Hukum NO. 2 VOL. 17 April 2010