Prejudiciel Geschill Terhadap Perkara Penyerobotan Tanah : Apakah masih relevan diterapkan di peradilan indonesia?

Prejudicieel geschil merupakan suatu masalah perdata, yang menjadi dasar atau pendahulu bagi suatu proses perkara pidana
Ilustrasi hukum . Foto dokumentasi pa-surabaya.go.id/
Ilustrasi hukum . Foto dokumentasi pa-surabaya.go.id/

Prejudicieel geschil merupakan suatu masalah perdata, yang menjadi dasar atau pendahulu bagi suatu proses perkara pidana, dan harus diselesaikan terlebih dahulu oleh pengadilan perdata, sebelum pengadilan pidana dapat melanjutkan pemeriksaan pokok perkara. 

Ini terjadi ketika suatu tindak pidana memiliki dasar masalah hukum perdata, sehingga pengadilan pidana menunda prosesnya, sampai ada putusan yang mengikat dari pengadilan perdata mengenai hak perdata yang menjadi sengketa.

Tujuan adanya Prejudicieel geschil adalah untuk mencapai kepastian hukum, di mana status atau hak perdata yang disengketakan harus jelas terlebih dahulu sebelum dapat diadili secara pidana. 

Selain itu, Prejudicieel geschil juga menghindarkan tumpang tindih dan kebingungan antara kewenangan pengadilan perdata dan pidana dalam menyelesaikan sengketa yang sama, sehingga mencegah adanya putusan kontradiktif dan memastikan putusan pengadilan perdata dan pidana tidak saling bertentangan.

Sebuah titik singgung dan relevansinya

Sengketa tanah adalah sengketa yang timbul karena klaim atau hak atas sebidang tanah yang tumpang tindih, baik antara masyarakat, lembaga, atau perusahaan.

Sengketa tanah yang disebabkan oleh keserakahan, umumnya dipicu oleh motif ekonomi dan kepentingan pribadi yang berlebihan untuk menguasai tanah atau keuntungan dari lahan tersebut, seringkali melalui cara-cara ilegal seperti pemalsuan dokumen, monopoli lahan, atau penipuan.

Perkara tanah dalam perdata, adalah sengketa atau perselisihan yang terjadi antara individu, badan hukum, atau lembaga terkait dengan hak, kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan suatu bidang tanah. 

Dimana ketentuan paling relevan, ialah Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum. 

Sedangkan perbuatan yang berkaitan dengan sengketa tanah dalam KUHP saat ini adalah Pasal 385 KUHP dan Pasal 167 KUHP, dimana Pasal 385 KUHP berfokus pada tindakan perbuatan melawan hak atas barang seperti menjual, menyewakan, atau menjadikan jaminan atas barang orang lain secara tidak sah.

Sedangkan, Pasal 167 KUHP mengatur perbuatan melawan hak atas tempat seperti memaksa masuk atau berada di dalam rumah/ruangan orang lain secara melawan hukum.

Apabila mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 tahun 1980, lalu dihubungkan dengan permasalahan sengketa tanah sebagaimana dimaksud di atas. Pada Angka II poin 3 disebutkan bahwa “permasalahan yang menyangkut dalam pasal 81 KUHP. Sekedar memberi kewenangan, bukan kewajiban, kepada hakim pidana untuk menangguhkan pemeriksaan, menunggu putusan hakim perdata mengenai persengketannya”. 

Lanjut ke poin 4, menjelaskan bahwa “Jika mekanisme ini hendak dipakai nantinya Hakim pidana tidak terikat pada putusan Hakim Perdata yang bersangkutan seperti dinyatakan dalam Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 1956”.

Dalam peradilan pidana, konsep Prejudicieel geschil dimulai dari terdakwa atau penasihat hukum, yang mengajukan keberatan atau eksepsi atas surat dakwaan dari Penuntut Umum, dimana materi dari keberatan tersebut pada pokoknya menerangkan, terkait adanya objek tanah yang sedang diperiksa dalam perkara pidana, juga sedang diajukan dalam suatu perkara gugatan perihal perbuatan melawan hukum. 

Kemudian, Penuntut Umum diberikan hak untuk menanggapi materi eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukum tersebut. 

Selanjutnya apabila terdakwa atau penasihat hukum dan penuntut umum telah menyampaikan pendapatnya masing-masing, maka Majelis Hakim diberikan kewenangan sepenuhnya untuk memutuskan eksepsi atau keberatan tersebut. 

Apabila Majelis Hakim hendak menggunakan mekanisme Prejudicieel geschil, maka Majelis Hakim memutusnya melalui putusan sela dengan amar “menyatakan eksepsi diterima” dan “menangguhkan pemeriksaan perkara sampai terdapat putusan perdata yang berkekuatan hukum tetap”. 

Namun untuk menggunakan mekanisme tersebut, perlu diperhatikan apakah gugatan yang diajukan tersebut objeknya ialah tanah yang sama dengan sengketa pidana yang sedang diperiksa tersebut.

Kendala dalam penerapannya

   1. Ketidakpastian penyelesaian perkara

Dalam hal masalah sudah diperiksa serta diputus oleh Majelis Hakim memakai mekanisme Prejudicieel geschil, muncul beberapa persoalan antara lain berhubungan berapa lama kasus pidana mesti menunggu kasus perdata tersebut selesai dan berkekuatan hukum tetap.

Sedangkan dalam penyelesaian perkara perdata, tidak hanya selesai pada Pengadilan tingkat pertama, melainkan ada kesempatan untuk melakukan upaya hukum bahkan upaya hukum luar biasa yang memerlukan waktu penyelesaian yang cukup lama.

Mengingat penyelesaian perkara pidana dan perdata pada Pengadilan tingkat pertama diberikan waktu paling lama 5 (lima) bulan lamanya, sebagaimana bunyi SEMA Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding Pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan.

   2. Belum terintegrasi pada sistem penyelesaian perkara di Mahkamah Agung

Karena administrasi penyelesaian perkara saat ini berbasis elektronik, yang salah satunya menggunakan aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara “SIPP”, terpantau melalui aplikasi Monitoring implementasi SIPP “MIS”.

Apabila kedua aplikasi tersebut dikaitkan dengan penerapan penyelesaian perkara pidana menggunakan mekanisme Prejudicieel geschil. Kedua aplikasi tersebut akan membaca dan memberikan notifikasi keterlambatan penyelesaian perkara pidana tersebut, yang akhirnya hal tersebut berdampak pada berkurangnya kinerja satuan kerja.

   3. Dualisme sudut pandang

Perbedaan sudut pandang praktisi dalam menyikapi mekanisme Prejudicieel geschil, terdapat praktisi yang memandang proses penyelesaian ini, ialah mekanisme yang bisa diterapkan pada suatu sengketa objek tanah yang sama dan sedang diperiksa dalam perkara pidana dan perdata secara bersamaan. 

Karena segala hal yang berkaitan dengan sengketa tanah, perlu diketahui secara nyata hak dari seseorang terhadap suatu tanah bersengketa. Yang mana hanya dapat diketahui melalui proses pemeriksaan perdata, apabila perkara perdata terhadap sengketa tanah tersebut telah putus dan berkekuatan hukum tetap.

Maka penyelesaian perkara pidana sebelumnya dapat dilakukan proses pemeriksaan lebih lanjut. 

Kemudian selain dari pendapat sebelumnya, terdapat pula praktisi yang memandang mekanisme ini sulit untuk diterapkan pada proses administrasi peradilan saat ini yang sudah berbasis elektronik. Yang seharusnya suatu perkara dapat diselesaikan secara efektif dan efisien, sehingga tidak memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikan perkara. 

Kemudian bagi pengadilan selaku satuan kerja itu sendiri, proses ini akan berdampak pada penurunan nilai kinerja yang disebabkan oleh keterlambatan penyelesaian perkara. 

Mengingat penilaian kinerja tersebut, juga berskala nasional sehingga sedikit banyak akan mempengaruhi prestasi satuan kerja.

Kesimpulan penulis saat ini, konsep Prejudiciel Geschill masih relevan diterapkan pada proses peradilan sekarang. Disamping Hakim pemeriksa perkara perlu memperhatikan objektifitas dan tenggat waktu penyelesaian perkara.

Dibutuhkan pula kordinasi dengan pimpinan pengadilan soal pengambilan keputusan mengenai penerapan Prejudicieel geschil pada suatu perkara, karena pimpinan pengadilan juga dinilai perlu untuk mengetahui dampak serta manfaat bagi satuan kerja maupun para pencari keadilan perihal penyelesaian perkara menggunakan mekanisme ini.

Selanjutnya yang tak kalah penting, Prejudicieel geschil bukanlah cara bagi seseorang untuk lari dari pertanggungjawaban pidana. Mekanisme ini bertujuan guna memberi kepastian hukum bagi seseorang, sebelum dilakukan pemeriksaan secara pidana.

Penulis: Fuadil Umam
Editor: Tim MariNews