Tengku Musri (38), semula mendapatkan vonis mati pada pengadilan tingkat pertama dan banding. Hal ini karena perbuatannya sebagai seorang kurir yang hendak membawa narkotika jenis sabu seberat 10.000 gram dan 6.300 gram pil ekstasi dari Dumai, Riau ke Langsa, Aceh.
Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung kemudian menjatuhkan vonis 20 tahun penjara dan denda Rp1 Miliar subsider tiga bulan penjara sebagaimana dalam Putusan Nomor 6195 K/Pid.Sus/2025.
Putusan itu diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada Kamis (7/8) oleh Hakim Ketua, Dr. Prim Haryadi, S.H., M.H., dengan didampingi para Hakim Anggota yakni, Dr. Sugeng Sutrisno, S.H., M.H., dan Sigid Triyono, S.H., M.H.
Majelis Hakim Kasasi menyatakan, Judex Facti sudah memberikan pertimbangan terkait penjatuhan pidana, namun putusan tersebut kurang pertimbangan hukum (onvoldoende gemotiveerd).
Berkaitan dengan pidana mati, Judex Juris menyatakan, keadilan yang ditegakkan berdasar atas hukum itu haruslah senantiasa dibuat dengan mengingat pertimbangan-pertimbangan dari berbagai perspektif.
Beberapa Batasan dalam Penjatuhan Pidana Mati Perkara Narkotika
Dalam putusannya Majelis Hakim menguraikan, dalam konteks perspektif hak untuk hidup (right to life) dari orang yang akan dijatuhi pidana mati, tentunya harus pula dipertimbangkan bahwa kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati itu adalah kejahatan-kejahatan yang secara langsung maupun tidak langsung menyerang hak untuk hidup (right to life) dan hak atas kehidupan (right of life).
Majelis Hakim Kasasi kemudian merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tanggal 23 Oktober 2007, yang memberikan suatu batasan, agar secara cermat dan berhati-hati di dalam penerapannya, bahwa pidana mati diberikan kepada:
- Produsen dan pengedar (termasuk produsen adalah penanamnya) yang melakukannya secara gelap (illicit), tidak kepada penyalah guna atau pelanggar Undang-Undang Narkotika atau Psikotropika yang dilakukan dalam jalur resmi (licit) misalnya pabrik obat/farmasi, pedagang besar farmasi, rumah sakit, puskesmas, dan apotek;
- Para pelaku sebagaimana disebut dalam butir a di atas yang melakukan kejahatannya menyangkut Narkotika Golongan I (misalnya ganja dan heroin).
Pemberlakuan pidana mati dalam kasus kejahatan narkotika, menurut Majelis Hakim, tidaklah boleh secara sewenang-wenang diterapkan oleh hakim sesuai dengan ketentuan dalam ICCPR.
Dalam menjatuhkan hukuman pada pelaku pelanggaran pasal-pasal Narkotika Golongan I tersebut, hakim berdasarkan alat bukti yang ada dan keyakinannya dapat menghukum pelakunya dengan ancaman maksimalnya yaitu pidana mati.
Sebaliknya, apabila hakim berkeyakinan bahwa sesuai dengan bukti yang ada, unsur sengaja dan tidak sengaja, pelakunya di bawah umur, pelakunya perempuan yang sedang hamil, dan sebagainya, sehingga tidak ada alasan untuk menjatuhkan hukuman maksimum, maka kepada pelakunya (walaupun menyangkut Narkotika Golongan I) dapat pula tidak dijatuhi pidana mati.
Lebih lanjut, Judex Juris menjelaskan, terhadap pelaku tindak pidana narkotika dapat saja dijatuhi dengan pidana mati, sebab pada dasarnya hukuman mati memang masih diperlukan.
Dasar argumentasinya adalah selain efek jera, tidak ada satupun ajaran agama yang menentang pidana mati, crimina morte extinguuntur: kejahatan dapat dimusnahkan dengan hukuman mati, mors omnia solvit: hukuman mati menyelesaikan perkara.
“Bahwa meskipun pidana mati, dimungkinkan untuk dijatuhkan, namun harus memperhatikan derajat kesalahan Terdakwa.” tegas Majelis Hakim.
Pertimbangan Judex Juris dalam Menjatuhkan Pidana Penjara
Selanjutnya, Majelis Hakim Kasasi turut memperhatikan fakta-fakta dalam perkara tersebut antara lain:
- Derajat kesalahan terdakwa, yakni sebatas sebagai kurir dan akan memperoleh upah namun upah tersebut belum diterima;
- Berat barang bukti narkotika jenis sabu yang positif mengandung metamfetamina dengan berat bersih 10.000 gram dan narkotika jenis pil ekstasi merek Kenjo warna hijau muda yang positif mengandung 2-CB dengan berat bersih 6.300 gram;
- Terdakwa bukan pemilik narkotika dan bukan pengendali peredaran narkotika;
- Aspek keadilan dan kemanfaatan;
- Penghindaran disparitas pemidanaan dengan pelaku yang kesalahannya sejenis dengan para Terdakwa.
Judex Juris kemudian memperbaiki pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa dengan tidak menjatuhkan pidana mati.
Terlebih, tambah Majelis Hakim Kasasi, di dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia telah mengalami pergeseran sebagaimana KUHP 2023, yang akan berlaku pada tanggal 2 Januari 2026 (sebagai ius constituendum).
Majelis Hakim Kasasi menyebut, KUHP 2023 memberlakukan pidana mati bukan lagi sebagai pidana pokok, namun menjadi pidana istimewa. Atas pertimbangan itu, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari Penuntut Umum dan terdakwa.
“Menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa selama 20 tahun dan pidana denda sebesar Rp1 Miliar dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana penjara selama tiga bulan.” bunyi salah satu amar putusan tersebut.